Gending dalam Diri: Mantra Tenang untuk Jiwa Pemimpin

“Dalam diam gamelan, jiwa tak lagi berlari, tapi pulang.”

Kadang, "tubuh memberi isyarat pelan" namun pasti: mata terasa berat, pikiran berjejal, langkah mulai kehilangan arah. Dalam momen seperti itu, pilihan untuk berhenti bukan pelarian pada layar gawai atau riuh kafe. Gamelan dan gending Jawa klasik menjadi ruang hening, alunan nada yang lembut tapi mengalir seperti doa. Rebab yang lirih, gong yang berwibawa, sinden yang melengking penuh rasa—semuanya menuntun pancaindra untuk menunduk, mendengarkan, dan diam. Di situlah istirahat sejati bekerja: bukan sekadar menutup mata, tetapi membuka ruang batin.

Lahir dan besar di lereng Merapi dan Merbabu, di tanah yang akrab dengan aroma tembakau dan suara kentongan, budaya Jawa menanamkan ritme alam dan tata rasa yang halus. Hidup tak harus bergegas. Ketentraman bukan kemunduran, melainkan cara menjaga nyala agar tak padam. Di tengah tanggung jawab yang menumpuk, gamelan menjadi jembatan pulang—tempat jiwa kembali mengenali dirinya, seperti tanah yang mengenali hujan pertama.

Setiap alat dalam gamelan memiliki bahasa sendiri. Rebab berbicara lewat lirihnya gesekan, gong memberi ketegasan, kempul menyeimbangkan napas, bonang menambah warna, dan saron menjaga tempo. Tak ada yang paling keras, tak ada yang ingin menonjol. Semua tunduk pada harmoni. Pelajaran pertama tampak jelas: dalam kehidupan, seperti dalam gamelan, keseimbangan lebih penting daripada kemenangan. Mendengarkan lebih bijak daripada berebut bicara. Gending mengajarkan bahwa ketenangan bisa lebih berdaya daripada gaduh.

Kepemimpinan, sejatinya, adalah laku rasa. "Transformational leadership" menyalakan semangat dan inspirasi, membangkitkan bukan memerintah. Seperti kendhang yang memberi tempo dan arah dalam gamelan, nyala itu menular, tanpa menekan. Namun kepemimpinan juga butuh sisi yang menenangkan. "Servant leadership" mengajarkan bahwa pemimpin sejati melayani, mendengar lebih banyak, memberi ruang, dan menghadirkan rasa teduh. Seperti gong dan rebab—tak menonjol, tapi kehadirannya membuat keseluruhan utuh. Gabungan keduanya adalah harmoni: pemimpin yang menyalakan sekaligus menenangkan. Api dan air dalam satu wadah. Membimbing tanpa menggurui, menuntun tanpa memaksa.

Dalam jeda antara denting bonang dan dentum gong, hadir makna lain dari hidup: Urip iku urup. Hidup adalah nyala, tetapi nyala yang memberi manfaat bagi sesama. Gending menjadi bahan bakar bagi nyala itu. Dari ketenangan muncul daya baru untuk berkarya, mengajar, dan mempercantik dunia — *memayu hayuning bawono*. Rehat bukan berarti berhenti, melainkan cara agar nyala terus terjaga—indah, hangat, dan berumur panjang.

Pada akhirnya, setiap insan memiliki “gamelan dalam diri”: suara halus yang hanya terdengar saat benar-benar diam. Dalam kesunyian itulah jiwa pemimpin ditempa. Bukan di ruang rapat yang bising, melainkan di ruang batin yang hening. Dan seperti gending Jawa yang tak pernah tergesa, ketenangan adalah energi, keselarasan adalah kekuatan.

Urip iku urup — hidup adalah nyala. Dan seperti gending Jawa, nyala sejati tidak meledak, melainkan bergetar halus dari jiwa yang tenang.

Demikian.

Salam hangat dan hormat.

Dr. Agus Andi Subroto 

Dekan FHB ITB Yadika Pasuruan.

Ruang Inspirasi Rumah Rungkut Surabaya, 02 November 2025.

Posting Komentar

JSON Variables

You might like

$results={3} $style={1}