Postingan

Profesi, Jiwa, dan Manajemen Diri: Mengajar dengan Kesadaran, Memimpin dengan Cinta

Pagi datang dengan lembut. Aroma kopi hitam menggantung di udara, berbaur dengan bunyi langkah mahasiswa yang baru tiba di halaman kampus. Di meja kerja seorang dosen, tumpukan makalah menunggu dibaca, sementara layar laptop menampilkan silabus yang akan dibahas hari itu. Tapi di balik semua kesibukan itu, ada sesuatu yang jauh lebih hening — sebuah perenungan tentang makna profesi, tentang mengajar bukan sekadar kewajiban, melainkan panggilan jiwa.

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, profesi sering kali tereduksi menjadi sekadar pekerjaan: memenuhi target, mengejar insentif, atau sekadar menghindari kekurangan. Padahal, bekerja sejatinya bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga aktivitas spiritual — ruang bagi jiwa untuk menyatakan dirinya. Di sinilah letak paradoks manusia modern: semakin sibuk bekerja, semakin jauh ia dari makna kerja itu sendiri.

Pertanyaan sederhana sering muncul di sela waktu: “Apakah aku sudah berada di tempat yang seharusnya?” Sebagian orang menjawab dengan berpindah pekerjaan. Sebagian lagi bertahan dalam rutinitas tanpa gairah. Namun ada segelintir yang memilih diam dan memahami — bahwa mungkin bukan pekerjaannya yang harus diubah, melainkan kesadarannya dalam bekerja.


Menurut Self-Determination Theory (Ryan & Deci, 2020), manusia akan mencapai kepuasan tertinggi ketika tiga kebutuhan psikologis dasarnya terpenuhi: autonomy, competence, dan relatedness. Seseorang merasa hidupnya bermakna ketika ia bebas mengarahkan dirinya (autonomy), mampu menyalurkan potensinya (competence), dan merasa terhubung dengan orang lain (relatedness). Teori ini, meskipun lahir dari ranah psikologi, sesungguhnya berbicara tentang spiritualitas yang halus: tentang menjadi manusia yang utuh di tengah hiruk-pikuk profesionalisme.

Mereka yang mengajar dengan kesadaran dan memimpin dengan cinta, tanpa sadar sedang memenuhi ketiganya. Ia merdeka dalam berkarya, terus bertumbuh lewat proses mengajar, dan terhubung secara emosional dengan orang-orang di sekitarnya. Maka profesinya bukan sekadar alat mencari nafkah, tapi sarana untuk menemukan diri.

Dalam dunia manajemen modern, istilah meaningful work atau “kerja yang bermakna” mulai banyak dibahas. Pratt & Ashforth (2019) serta Steger (2021) menegaskan bahwa makna adalah dimensi penting yang menentukan kualitas hidup profesional seseorang. Mereka yang memandang pekerjaannya bermakna menunjukkan tingkat komitmen dan *kebahagiaan yang lebih tinggi* dibanding mereka yang hanya melihat pekerjaan sebagai kewajiban. Dalam konteks ini, mengajar dengan kesadaran berarti menempatkan profesi bukan sebagai beban, tapi sebagai ruang perjumpaan antara nilai pribadi dan misi sosial.

Ketika seorang pendidik berdiri di depan kelas, ia sebenarnya tidak hanya mentransfer pengetahuan. Ia sedang menanamkan keyakinan, menyalakan semangat, dan menuntun kesadaran. Saat itu, kampus bukan sekadar lembaga pendidikan — ia menjadi taman jiwa, tempat manusia belajar menjadi manusia. Begitu pula ketika seorang pemimpin mengambil keputusan dengan hati, ia tidak hanya memimpin organisasi, tapi juga memimpin kesadaran kolektif di sekitarnya.

Mungkin inilah mengapa sebagian orang tidak pernah benar-benar ingin “resign.” Bukan karena mereka takut kehilangan pekerjaan, tetapi karena mereka tahu, pekerjaan itu telah menjadi bagian dari *perjalanan spiritual mereka*. Profesi dan jiwa telah saling menemukan iramanya. Tidak ada lagi pertentangan antara “aku yang bekerja” dan “aku yang hidup.” Keduanya telah menyatu dalam kesadaran yang sama.

Dalam manajemen modern, kesadaran seperti ini disebut alignment — ketika nilai individu, tujuan organisasi, dan kebutuhan semesta saling bersinggungan secara harmonis. Seorang profesional yang telah mencapai titik ini tidak lagi bekerja dengan tekanan, melainkan dengan kehadiran penuh (mindful working). Ia tidak lagi memimpin dengan ketakutan, tapi dengan cinta.

Cinta, dalam konteks kerja, bukanlah romantisme. Ia adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab dan pengabdian. Seorang pemimpin yang bekerja dengan cinta akan menanamkan semangat yang sama pada timnya. Ia tidak hanya mengejar hasil, tetapi juga menumbuhkan manusia di dalam prosesnya. Di titik inilah profesi menjelma menjadi doa, dan setiap tindakan kerja menjadi ibadah yang bergerak.

Akhirnya, bekerja dengan kesadaran dan memimpin dengan cinta bukan sekadar konsep spiritual — ia adalah strategi manajemen yang paling manusiawi dan berkelanjutan. Dunia kerja yang serba target memerlukan keseimbangan baru: bukan hanya produktivitas, tetapi juga kehadiran jiwa. Sebab organisasi yang tumbuh tanpa kesadaran hanyalah mesin; sementara organisasi yang hidup dengan cinta, adalah taman bagi kemanusiaan.

 “Profesi yang dijalani dengan cinta adalah doa yang bergerak.

Dan ketika doa itu menjadi rutinitas, semesta pun ikut bekerja.”

Urip iku Urup. Setiap kata adalah cahaya. Semoga catatan kecil ini menjadi sedekah yang menyalakan kebaikan bersama.

Salam hangat dan hormat.

Dr. Agus Andi Subroto 

Dekan FHB ITB Yadika Pasuruan.

Surabaya, 13 November 2025.

Posting Komentar

JSON Variables

You might like

$results={3} $style={1}