Judul: "Rindu yang Tak Pernah Pergi"
Langit sore di kota kecil tempat ATTAH tinggal sedang muram, seakan ikut merasakan gejolak hati yang sulit ia redam. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali ia melihat senyum NAURA secara langsung. Wajah itu masih jelas dalam ingatannya—mata teduh yang menyimpan ribuan kata, senyum hangat yang bisa meluruhkan amarah dunia.
Mereka tak pernah merencanakan untuk berjauhan. Tapi kehidupan, seperti biasa, terkadang berjalan tak searah dengan harapan. NAURA harus melanjutkan sekolah ke kota yang berbeda, ribuan kilometer dari tempat ATTAH berada. Komunikasi hanya melalui layar dan suara. Tapi tak ada layar yang bisa menggantikan hangatnya pelukan, dan tak ada suara yang bisa sepenuhnya menyampaikan rindu yang mendalam.walau sesekali ATTAH dan NAURA sering untuk menyempatkan bermain game online walau berjarak jauh.
Setiap malam, ATTAH sering mengirim kan beberapa pesan selama kesehariannya tanpanya di sekolah begitu pula NAURA yang juga mengirim pesan ke ATTAH tentang kesehariannya disekolah barunya. walau mereka berjauhan rasa cinta dan sayang tetap ada di hatinya masing masing ,menatap langit yang sama yang mungkin juga melihat NAURA dari tempatnya. Ia percaya, meski mereka terpisah jarak, cinta mereka tetap berbagi langit yang sama.
"Naura," bisiknya dalam hati, "aku rindu bukan hanya kamu, tapi pada caramu membuatku merasa pulang. Dan tak peduli seberapa jauh kau berada, hatiku selalu mengarahkanmu."
NAURA di seberang sana pun seringkali merasa hampa. Di tengah kesibukannya belajar, ada kekosongan yang tak bisa diisi siapa pun selain ATTAH. Dia merindukan suara laki-laki itu memanggil namanya dengan lembut, atau hatinya yang selalu mendengarkan cerita nya di saat dia merasa rapuh atau dihadapi kegagalan maupun kesalahan, ATTAH selalu mendengarkan semua cerita nya ATTAH adalah rumah yang selalu menjadi tempatnya berbicara.
Namun, di balik rasa hampa dan tak berdaya itu, ada kekuatan yang tumbuh. Cinta mereka bukan lagi tentang kebersamaan fisik, tapi tentang keyakinan. Bahwa hati mereka tetap saling berpegangan meski tak saling menyentuh.
Setiap pesan yang dikirimkan, setiap panggilan yang diangkat, adalah pengingat bahwa mereka saling memiliki. Bukan karena selalu bersama, tapi karena selalu ada — di hati, dalam doa, dalam mimpi.
Dan ATTAH percaya, cinta yang tulus tak pernah menanyakan jarak, waktu, atau keadaan. Ia hanya butuh dua hati yang bersedia tetap memilih satu sama lain, setiap hari, meski dari jauh.
Mungkinkah kumiliki cinta seperti ini lagi jangan biarkan aku kehilangan dirimu ( dewa 19 )
Karena cinta sejati bukan tentang seberapa dekat tubuh berada, namun seberapa kuat hati melingkari nama seseorang dan tak pernah melepasnya.
"Hal-Hal Kecil yang Membesarkan Cinta"
Libur sekolah akhirnya datang, dan semesta seperti mendengar doa yang telah lama dipanjatkan ATTAH. NAURA memberi kabar bahwa ia akan berlibur ke rumah neneknya, yang hanya beberapa kilometer dari tempat tinggal ATTAH. Walau jarak itu masih belum bisa dijangkau tiap hari, tapi hanya dengan tahu NAURA ada lebih dekat, hati ATTAH sudah berdegup lebih cepat.
Tapi ATTAH hanya membawa satu hal: niat tulus, dan Hari pertemuan itu pun datang. Tidak ada bunga mawar mahal, tidak ada tempat makan mewah, apalagi kejutan besar seperti yang dilakukan banyak orang untuk menunjukkan cinta. Tapi ATTAH hanya membawa satu hal: niat tulus untuk membuat NAURA merasa dicintai sepenuh hati. Dengan menanyakan kabar nya yang ada di rumah nenek nya sekarang.
Mereka bertemu di jalan setapak dekat sawah—tempat yang sederhana, tapi menjadi begitu indah saat dua pasang mata saling bertemu setelah sekian lama. NAURA tersenyum, rambutnya ditiup angin pelan, dan mata ATTAH seperti tenggelam dalam kerinduan yang akhirnya bertemu ujung. Mereka berjalan jalan di dekat sawah itu dan mencari tempat untuk duduk dan bercerita.
"Udah lama banget ya," kata NAURA pelan, namun sarat rasa.
"Lama banget," jawab ATTAH, suaranya sedikit bergetar. "Tapi rasanya semua menunggu ini sepadan."
Mereka tidak pergi ke tempat wisata. Tidak juga menonton film atau makan di restoran. Tapi ATTAH membawa NAURA ke bukit kecil di dekat sawah itu, dimana tempat tenggelamnya matahari terlihat sempurna. Di sana, dia mengeluarkan bekal sederhana: dua potong roti isi telur, dan dua botol teh manis buatan ibunya.
"Maaf ya, gak mewah. Tapi ini yang aku punya," ucap ATTAH sambil menyodorkan roti ke NAURA.
NAURA tersenyum. "Ini lebih dari cukup. Aku hanya butuh kamu. Dan ini—semua ini—udah membuat aku bahagia."
Mereka makan sambil melihat langit berwarna jingga keemasan. Tak banyak bicara, tapi perasaan yang terpancar dari diam mereka berbicara lebih banyak dari kata-kata. Kadang-kadang, NAURA hanya menatap ATTAH, merasa bersyukur luar biasa bahwa laki-laki itu masih sama—tetap perhatian, tetap hangat, dan selalu membuatnya merasa cukup.
Sebentar saja ku ingin cerita, tentang dia yang teristimewa, kadang lucu kadang menyebalkan yaa, ohh tapi akuu suka ( batas senja )
"Tau nggak, Ta," bisiknya, "aku selalu mikir, kenapa aku nggak pernah ngerasa sendirian meskipun kita jauh… Ternyata karena kamu nggak pernah pergi dari hatiku.
ATTAH meyakinkan NAURA. "Dan kamu adalah alasanku untuk tetap menjadi lebih baik setiap hari." ucap ATTAH kepada NAURA
Sakit itu ditutup dengan tawa ringan, senyum bahagia, dan hati yang lebih utuh. Karena cinta, pada akhirnya, bukan tentang seberapa besar hadiah yang diberikan, namun seberapa kecil hal yang dilakukan dengan ketulusan yang besar.
"Bahagia yang Tak Perlu Dijelaskan"
Matahari sudah tenggelam, namun langit belum benar-benar gelap. Cahaya senja masih menyisakan warna keemasan yang lembut. Di bukit kecil itu, ATTAH dan NAURA masih duduk berdampingan, membiarkan waktu berjalan tanpa mereka kejar.
Tak ada yang terburu-buru pulang. Tak ada alasan untuk mengakhiri hari yang terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata.
ATTAH melirik ke arah NAURA. Wajah gadis itu diterpa cahaya sore yang hangat. Hidungnya yang mungil, mata yang selalu tampak lembut, bahkan helai rambut yang kadang menari-nari ditiup angin—semuanya membuat ATTAH tak bisa berkata apa-apa.
Dia ingin bicara, ingin mengatakan betapa dalam kekagumannya pada NAURA. Tapi mulutnya kaku. Karena ternyata, ada rasa yang terlalu besar untuk dimuat oleh kata-kata.
NAURA menoleh dan mendapati tatapan ATTAH. Dia tersenyum, dan seketika jantung ATTAH berdebar tak beraturan.
"Apa?" tanya NAURA sambil terkekeh kecil.
ATTAH menggeleng pelan. "Nggak apa-apa."
Tapi dalam hati, ia sedang berteriak: 'Naura, kamu itu indah… bukan cuma karena kamu cantik, tapi karena kamu membuat aku merasa bahwa aku pantas dicintai. Dan bersamamu, aku bukan siapa-siapa yang jadi berharga.'
Mereka mulai berjalan turun bukit, langkah mereka lambat, seolah ingin memperlambat waktu yang terus berjalan. ATTAH menggenggam tangan NAURA, dan NAURA merespons dengan erat—tanpa perlu kata apa pun.
Sesampainya di rumah NAURA, NAURA masuk kerumah dan ATTAH duduk didepan teras yang terang. Suara jangkrik mulai terdengar, malam perlahan menyelimuti dunia.
Dan suara adzan magrib pun terdengar mereka segera datang ke masjid untuk melaksanakan sholat maghrib setelah sholat maghrib pun ATTAH pulang kerumah untuk makan dan begitu pula dengan NAURA mereka malakukan aktivitas seterusnya dan masih kabar kabar melalui ponsel nya masing masing.
Hingga ke esokan harinya mereka ingin bertemu kembali dan berjalan jalan menggunakan motor yang dimiliki ATTAH mengelilingi desa saat setelah sholat ashar.
"Sore, Jalanan, dan Dua Hati yang Saling Menjaga"
Pagi datang membawa cahaya lembut dan semangat baru. Semalam NAURA tidur lebih cepat dari biasanya. Rasa tenang setelah menghabiskan waktu bersama ATTAH masih membekas dalam hati nya. Dan di hati ATTAH, perasaan yang sama juga tumbuh semakin besar. Rasa nyaman, rasa bahagia, dan sesuatu yang tak bisa ia sebut selain: rasa syukur karena memiliki NAURA.
Sebelum zuhur, ATTAH sudah mengirim pesan.
ATTAH :
"Nanti sore, abis Ashar, kamu mau jalan sama aku? Nggak jauh-jauh. Keliling desa aja, naik motor."
NAURA membalas cepat.
NAURA :
"Mau banget. Tapi jemputnya jangan kesiangan ya, kalo bisa habis ashar aja."
Kalimat terakhir itu membuat ATTAH senyum-senyum sendiri. Ia segera menyiapkan motornya, membersihkannya, bahkan mengecek tekanan ban dan bensin—hal-hal kecil yang menunjukkan ia ingin semua berjalan sempurna, meskipun rencana mereka hanya berkeliling desa itu bisa membuat ATTAH menjadi bahagia.
Sore hari, setelah sholat Ashar, langit begitu bersih. Awan putih menggantung rendah, angin bertiup pelan, dan suasana desa masih tenang, damai.
ATTAH sedang berdiri di depan rumah NAURA. Ia baru saja tiba dan bertemu dengan nenek serta kakek NAURA, yang memang sudah dikenalnya sejak lama.
"Naura ada, Bu?" tanya ATTAH sopan kepada nenek.
"Ada kok," jawab nenek dengan ramah. Lalu dia bertanya, "Mau ke mana, Le?"
"Mau jalan-jalan keliling desa aja, Bu," jawab ATTAH.
Nenek tersenyum lalu berpesan, "Yowes, ojok lama-lama yo, Le. Magrib mole o."
"Iya, Bu," jawab ATTAH dengan anggukan kecil.
NAURA keluar dari rumah neneknya dengan jilbab sederhana dan blus putih polos yang tertiup angin. ATTAH yang menunggu di teras rumahnya dan hanya bisa terdiam sejenak saat melihat naura yang begitu cantikk.
Sebelum berangkat NAURA berpamitan dan salim kepada neneknya dan setelah itu pun Tanpa banyak bicara, NAURA duduk di jok belakang motornya. Tangan lembutnya memegang pinggang ATTAH dengan pelan. Motor itu pun melaju perlahan di jalanan kecil desa, melewati sawah, sungai kecil, dan deretan rumah-rumah yang diselimuti aroma sore.
Kadang ATTAH menunjuk ke sawah tempat dia biasa bermain waktu kecil. Kadang NAURA bersandar lebih dekat, tertawa saat angin hampir menerbangkan jilbabnya. Setiap hal kecil yang mereka lihat bersama jadi terasa istimewa: anak-anak bermain layangan, kakek-kakek duduk di bangku bambu, aroma gorengan dari warung pinggir jalan.
Hanya motor sederhana, jalanan desa, dan dua hati yang saling menjaga. Tapi bagi mereka, itu lebih dari cukup.
Setelah beberapa saat berkeliling, mereka berhenti di jembatan kecil yang menghadap ke aliran sungai tenang. ATTAH mematikan mesin motor. NAURA turun dan berdiri di tepi jembatan, menatap air yang mengalir perlahan. ATTAH berdiri di sampingnya.
Sambil melihat matahari tenggalam dan indahnya senja
"Ta," ucap NAURA, lirih. "Kamu sadar nggak sih… kalau waktu sama kamu itu selalu bikin aku ngerasa damai?"
ATTAH menatapnya. "Aku juga, Naura. Sama kamu, aku nggak harus jadi siapa-siapa. Nggak harus sempurna. Kamu buat aku ngerasa... cukup."
Setelah itu ATTAH mengajak NAURA untuk pulang kerumah karna langit udah mulai gelap matahari yang awalnya berwarna sekarang mulai menghilang "dan sekarang waktu nya untuk pulang dan kita akan melakukan hal yang sangat seru keesokan harinya" ucap ATTAH mengajak NAURA untuk pulang "okelah, memang apa yang akan kita lakukan besok?"
"Akuu akan mengajak mu membantu kakek mu di sawah" ucap ATTAH mengajak NAURA , dan NAURA pun menjawab "ehh tiba tiba banget yaudah deh akuu juga belum pernah bantu kakek aku juga heheheh" jawab naura kaget dan bahagia :)))
"Hari Terakhir yang Tak Akan Dilupakan"
Pagi itu, mentari naik perlahan dari balik pepohonan, menyinari ladang yang membentang luas di desa. Udara masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering. Suara ayam dan dedaunan yang digoyang angin menjadi latar alami dari hari yang istimewa—hari terakhir liburan NAURA.
Meski perasaan sedih mulai muncul perlahan di hati mereka berdua, ATTAH dan NAURA tetap memilih untuk mengisinya dengan senyum dan kebersamaan dengan hari terakhir ini menghabiskan waktu bersama.
"Ayo, bangun. Hari ini kita bantu Kakek di sawah," tulis pesan dari NAURA yang masuk ke ponsel ATTAH sejak subuh.
"Ehh nii anakkk cepett bangett dahhh yaudahh akuuuu juga cepet cepet :)) " ucap ATTAH dalam hati
Beberapa menit kemudian, ATTAH sudah datang dengan celana kain lusuh dan topi caping yang bahkan sedikit kebesaran di kepalanya datang ke rumah NAURA untuk menjemputnya disitu NAURA menggunakan baju yang cukup udah lama dan memakai topi sawah milik nenek nya. dan Mereka berdua berjalan bersama ke sawah di belakang rumah nenek NAURA, tempat kakeknya menanam padi setiap pagi.
Kakek NAURA, seorang pria tua dengan senyum hangat dan tubuh yang masih kuat, menyambut mereka dengan heran tapi bahagia.
"Lho, kok esuk-esuk ana bocah loro ngrewangi mbah?" candanya sambil tertawa.
"Kita niat bantu, Kek. Biar Naura juga ngerasain tanah sawah," jawab ATTAH sambil terkekeh.
Mereka pun turun ke petak sawah yang becek. NAURA awalnya ragu, tapi ketika melihat ATTAH nyeker masuk lumpur sambil tertawa lepas, ia ikut menyusul. Dengan panduan dari sang kakek, mereka menanam bibit padi yang diberi oleh kakek nya NAURA satu demi satu.
Matahari mulai naik, lumpur mengotori pakaian dan tangan mereka, tapi tidak sedikit pun kebahagiaan mereka berkurang. Justru tawa mereka bertambah setiap kali salah satu dari mereka terpeleset atau menanam bibit dengan posisi miring "itu semua hal konyol bagi anak anak yang baru pertama kali ke sawah" pikir kakek NAURA.
Tetapi walau begitu Kakek NAURA memperhatikan mereka dari kejauhan. Dalam hatinya, ia merasa tenang.
"Anak-anak ini… saling jaga, saling buat bahagia, walaupun hanya di sawah berlumpur. Cinta memang tak selalu harus besar. Yang sederhana pun bisa buat hidup jadi berarti."
Setelah pekerjaan selesai, mereka mencuci kaki di sungai kecil di tepi sawah. Hari mulai panas. Sesuai kebiasaan di rumah nenek, NAURA tidak diizinkan keluar rumah saat siang. Itu waktu untuk istirahat.
ATTAH pun pulang, namun sebelum berpisah sementara, mereka saling berjanji:
"Sore, ketemu lagi ya. Aku ada ide seru," kata ATTAH.
"Jangan telat ya. Hari ini terakhir, harus kita kenang baik-baik," balas NAURA sambil tersenyum tipis.
Sore Hari
Sebelum ke rumah NAURA ATTAH ingin membeli 2 gulungan layangan untuk bermain bersama NAURA setelah ashar.
Setelah sholat Ashar, ATTAH datang membawa dua gulungan layangan yang ia beli dari warung dekat lapangan. Keduanya belum pernah benar-benar bermain layangan. Tapi mereka ingin menghabiskan sisa waktu yang ada dengan cara yang menyenangkan.
Di lapangan terbuka, anak-anak kecil sudah ramai bermain. Tali-tali melintang ke langit, layangan warna-warni menghiasi angkasa.
"Ajarin dong, Bang!" teriak salah satu anak sambil tertawa, melihat ATTAH yang sibuk mengurai benang.
ATTAH pun malu karna emang sebelum nya ia emang belum pernah memainkan layangan dan Akhirnya, mereka benar-benar belajar dari anak-anak itu. NAURA tertawa lepas saat layangannya jatuh berkali-kali. ATTAH juga tak kalah ceroboh, benangnya sempat kusut dan membuatnya tersandung.
"Addduuuuuhhh…. Braakkk" suara ATTAH jatuhh :((
"Ehh kamuuu gapaaaapaa" ucap NAURAA yang melihat ATTAH jatuhh
Namun setelah beberapa percobaan, satu layangan akhirnya terbang tinggi. Mereka bersorak bersamaan, tangan mereka saling bertemu dalam tepukan kecil.
"Lihat, Na! Kita bisa!" seru ATTAH.
"Iyaaaa tahhh! Yeeeeyyyy" seru NAURA juga
"Layangan pertama kita… dan terakhir di liburan ini," jawab NAURA, suaranya terdengar pelan.
Mereka berdiri di tengah lapangan, layangan mereka menari di langit sore, dan di hati mereka—ada keikhlasan untuk menerima bahwa malam nanti akan menjadi perpisahan sementara lagi dan akan bertemu saat berlibur kembali.
Hari pun mulai gelap. Langit berganti jingga ke ungu. Anak-anak mulai pulang. Tapi mereka tetap berdiri sejenak, menikmati sisa waktu yang tersisa.
Keesokan Harinya
Di pagi hari ATTAH mengerti juga hari ini NAURA akan kembali ke kota karena keesokan nya sudah mulai masuk sekolah kembali begitu pula ATTAH besok juga sudah masuk sekolah dan aku datang ke rumah NAURA untuk memberikan beberapa kenang kenangan terakhir di libur akhirnya sebelum dia kembali ke kota.
Pagi datang tanpa banyak kata. NAURA sudah bersiap-siap kembali ke kota, ke rutinitas sekolah yang padat. ATTAH datang, membawa selembar foto kecil yang ia cetak diam-diam—foto mereka berdua di bukit waktu itu.
"Buat kamu," katanya singkat.
NAURA menatap foto itu, lalu menatap ATTAH. "Makasih… buat semuanya."
"Dan terima kasih juga… karena kamu datang," jawab ATTAH.
Mereka tidak menangis. Tidak juga berjanji-janji panjang. Karena cinta yang mereka punya tak butuh janji besar, cukup percaya dan saling menjaga, meski dari jauh.
Dan hari itu, NAURA pun pergi, meninggalkan jejak senyumnya di hati ATTAH.
Kehidupan pun kembali berjalan seperti semula. Tapi bagi mereka, ada satu bab dalam hidup yang tak akan pernah terlupa:
Bab di mana cinta tumbuh dari hal-hal sederhana, dan waktu bersama jadi harta paling berharga.
Setelah melewati semua yang mereka lakukan beberapa hari mereka tetap berkabar melewati ponsel dan masih sering bermain game online bersama walaupun berjauhan.
BAB 2 : Awal kisah kita berdua
Saat ATTAH sedang sendirian di kamar setelah dia pulang sekolah dia mencoba mengirim pesan ke NAURA dan saat dia mengirim pesan NAURA, belum juga menjawab nya pikirnya ATTAH masih belum pulang sekolah dan disitu ATTAH memikirkan hubungan dia dengan NAURA yang sudah lama ini dan mulai teringat dengan cerita cinta awal ATTAH dan NAURA di masa bangku SMP masa itu.
"Awal mengenali mu"
Di ruang kelas 8D SMP Aditya 2, suasana pelajaran IPA siang itu terasa cukup serius. Bu Rini, guru IPA yang terkenal tegas tapi adil, baru saja menjelaskan tentang proses fotosintesis. Kini, beliau menyuruh para siswa untuk membuat rangkuman bersama teman sebangku masing-masing.
Naura langsung membuka bukunya, membaca kembali catatannya yang rapi dan penuh warna stabilo. Di sebelahnya, Attah tampak kebingungan, matanya melirik-lirik tanpa arah. Ia tadi memang sibuk mengobrol dengan teman nya dan tak memperhatikan sama sekali.
Naura melirik ke arah Attah dan tersenyum kecil.
"Tahh!.., kita disuruh bikin rangkuman tentang fotosintesis. Ini tugas berdua ya," ucapnya lembut.
Attah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Oh… iya, iya. Santaii aja kali, Tapi… fotosintesis itu yang mana ya? hehe" menjawabnya dengan kaget dan sedikit bercanda.
Naura sedikit marah, namun naura tetap ingin bekerja sama dengan attah karna memang tugas diperuntukan berkelompok bersama yang sebangku. Namun dengan sabar membuka kembali halaman buku dan menunjukkan bagian yang dimaksud.
"Nih, ini penjelasannya.Fotosintesis itu proses dimana tumbuhan membuat makanannya sendiri menggunakan cahaya matahari, udara, dan karbon dioksida."
Attah mengangguk-angguk, meski masih sedikit bingung. Tapi karena Naura terlihat bersemangat, dia pun ikut-ikutan menulis.
"Jadi, aku nulis bagian udara dan karbon dioksida ya?" tanya Attah, mencoba menebak-nebak.
Naura tersenyum, "Boleh. Nanti aku bantu susun kalimatnya biar rapi."
Sejak saat itu, Attah jadi mulai tertarik memperhatikan pelajaran, terutama karena duduk di sebelah Naura yang selalu membantu tanpa mengeluh. Walaupun dia masih suka jahil, seperti menyembunyikan penghapus temannya atau menggambar karakter lucu di papan tulis saat guru keluar sebentar, tapi perlahan sikapnya mulai berubah.
Disaat itu attah memang belum menyukai naura karna attah belum telalu tertarik dengan naura, disitu setelah mengerjakan tugas berkelompok, di saat iitu waktunya istirahat setelah mengerjakan attah langsung ke kantin bersama teman temannya, dan kebetulan besok di sekolah nya ada pemilihan ekstrakurikuler yang baru diadakan, keesokan nya disitu ada penampilan ekstrakurikuler ( demo ekstrakurikuler ) yang akan bisa di pilih.
Disitu attah melihat demo ekstrakurikuler nya dia tertarik dengan salah satu ekstrakurikuler yang terdengar mendapat kan banyak sekali prestasi yaitu pramuka dan situ attah benar benar tertarik dengan pramuka dan dia mencoba mengajak temannya yang bernama angga dan setelah mengajak angga dan angga nya juga mau attah pun mengajak angga ke sanggar pramuka untuk mendaftar kan diri untuk mengikuti pramuka.
Dan disitu attah melihat naura yang sudah ada di sanggar pramuka duluan, attah melihat naura yang sudah kenal dengan beberapa kakak kelas pramuka tersebut.
"Langkah Kecil yang Membawa Dekat"
Melihat NAURA yang sudah mengenal kakak-kakak kelas pramuka, ATTAH sempat merasa canggung. Ia berdiri agak jauh di belakang ANGGA, berpura-pura melihat-lihat brosur kegiatan. Namun diam-diam, matanya terus mencari sosok NAURA di antara berkumpulnya anggota pramuka yang sedang membantu pendaftaran.
Tak lama, suara lembut yang sudah familiar menyapanya.
"Eh… Attah?"
NAURA menoleh, tersenyum kecil. "Kamu daftar pramuka juga?"
ATTAH tersentak kaget, tapi langsung mencoba tenang.
"Iya, iseng aja. Katanya seru, banyak kemah, petualangan gitu-gitu."
NAURA tertawa kecil.
"Iya, seru banget. Nanti kita sering ketemu dong."
Kata-kata itu sederhana, tapi membuat dada ATTAH hangat. Entah kenapa, sejak hari itu, setiap kegiatan pramuka terasa lebih menyenangkan. Mereka ikut latihan bareng, jelajah alam, bahkan lomba yel-yel. Meski ATTAH masih suka iseng dan usil, NAURA tak pernah jengkel terlalu lama. Dia tahu, di balik semua itu, ATTAH selalu memperhatikan.
Puncaknya adalah saat mereka ikut kegiatan kemah pertama di luar sekolah. Di malam api dibawah, para peserta duduk melingkar, saling menceritakan pengalaman. Saat itu, NAURA mendapat giliran bercerita, dan suaranya menggema lembut di antara suara jangkrik.
"Pramuka bikin aku sadar, bahwa orang-orang yang awalnya biasa aja bisa jadi sangat berarti kalau kita mau saling bantu, saling dengar…"
Matanya sempat berhenti di arah ATTAH, lalu beralih.
Malam itu, ATTAH duduk memandangi api yang menari. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... hatinya mulai menyimpan satu nama yang berbeda.
Sejak kegiatan pramuka itu, hubungan mereka semakin dekat. Dari tugas sekolah, ngobrol di kantin, sampai saling tukar cerita lewat catatan kecil yang diselipkan di buku.
Hingga suatu hari, setelah upacara bendera, NAURA menyelipkan sebuah kertas di buku IPA milik ATTAH. Kertas itu sederhana, hanya tulisan tangan rapi:
"Kadang, aku senang aja kalau kamu ada. Nggak tahu kenapa. :)"
ATTAH membaca berulang kali, hingga tulisan itu terasa lebih hangat dari matahari pagi. Sejak hari itu, ia menyadari: bukan hanya suka—ia sedang jatuh cinta.
Dan cinta itu bukan datang karena paksaan. Tapi tumbuh perlahan, dari duduk sebangku, dari tawa kecil, dari perhatian sederhana.
Bagi ATTAH, semua dimulai bukan dari kata "aku suka kamu"—tapi dari momen ketika NAURA membuatnya ingin jadi lebih baik. Dan sejak SMP, sejak pelajaran yang membuat kita bersama itu… mereka mulai berjalan di jalur yang sama, perlahan tapi pasti.
"Kadang kita nggak sadar, momen kecil bisa jadi awal dari cerita panjang. Dan satu senyum… bisa menuntun hati untuk percaya bahwa ini adalah awal dari segalanya."
"Kata yang Akhirnya Terucap"
Waktu terus berjalan. Mereka kini sudah duduk di kelas 9, dan kedekatan yang dulunya hanya terasa nyaman kini tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam. Tak hanya teman sekelas atau rekan pramuka biasa. Namun ada cinta dan kasih sayang yang sulit dijelaskan setiap kali mata mereka bertemu, atau ketika ada siswa yang menyebut nama dari salah satu dari nama mereka yang lain.
Rasa ingin tau yang tinggi tentang kapan salah satu dari mereka menyatakan suka atau cinta antara attah dan naura dan pada suatu saat.
Sore itu, selepas latihan pramuka yang cukup melelahkan, NAURA dan ATTAH duduk di tribun lapangan, meminum teh botol yang mereka beli di kantin.
Suasana mulai redup, angin sepoi-sepoi bertiup pelan kearah NAURA. Mereka mengobrol cukup lama tentang kesulitan yang di alami naura saat latihan berlangsung tadi, hingga ATTAH memberanikan diri membuka suara.
"Naura…" ucap attah pelan
"Hmm? apaa…?" jawab NAURA sambil menatap attah.
"Kamu pernah gak ngerasa… kangen ngobrol sama aku?"
NAURA menoleh pelan. "Pernah… malah pengen banget ngobrol sama kamu, tapi aku masih malu sama gengsi aja sihh hehehe :) "
Suasana jadi hening sejenak. Angin makin terasa menusuk, tapi hati ATTAH terasa panas karena degupnya tak bisa tenang.
"Aku... aku suka kamu, Naura. Dari dulu, tapi aku takut kamu berubah kalau aku ngomong."
Wajahnya tak berekspresi. Tapi lalu dia tersenyum pelan, lembut, dan menunduk.
"Kenapa kamu kira aku tidak tahu?" katanya lirih. "Aku juga suka kamu, Ta."
Dan setelah kedua nya menyatakan suka dan cinta mereka ke depan gerbang bersama sambil menunggu naura dijemput attah mengajak naura mengobrol dahulu sebelum pulang seperti menanyakan
"Rumahmu ada di mana ra? Attah menanyakan dengan rasa ingin tau"
"rumaahhku ada di gang aku milikmu no 6 "
"Kaloo kamuu dimana taa?"
Kalo aku di gang aku suka kamu no 5 "
Setelah itu jemputan naura pun datang dan sebelum pulang pun naura dan attah tos sebelum pulang. ( Yang rupanya tos itu mereka buat saat tadi mengobrol )
"Pesan yang Menyambung Hati"
Setelah attah melaksanakan kewajiban seperti belajar,sholat maghrib dan isya attah pun lapar dan ingin makan tapi saat ingin makan ia mendapatkan pesan dari naura
Di malam itu setelah mereka saling menyatakan rasa di sekolah tadi, suasana di kamar ATTAH terasa berbeda. Langit di luar jendela masih bertabur bintang, tapi di dalam hati ATTAH rasanya sudah ada satu bintang yang paling terang yaitu NAURA.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi pesan WhatsApp masuk.
NAURA
"Udah sampe rumah, Ta?"
ATTAH langsung tersenyum. Dia membalas dengan cepat.
ATTAH
"Baru aja. Kamu gimana? Udah makan malam belum?"
NAURA
"Udah dong. Tadi nenek masak ayam kecap. Kamu sudah makan?"
ATTAH
"Baru mau. Tapi liat chat dari kamu jadi lupa lapar hehe >.<"
NAURA
"Hahaha… dasar.Btw, makasih ya hari ini… aku gak nyangka kamu ngomongin itu."
ATTAH
"Iya, aku juga deg-degan setengah mati, Ra. Tapi aku lega akhirnya bilang juga."
NAURA
"Aku juga seneng… dan tenang. Tapi boleh ya Ta… kita tetep jaga semuanya. Aku… aku pengen hubungan ini tetap baik, tetap sehat, dan gak bikin kita jauh dari yang baik."
ATTAH
"Iya, Ra. Justru aku suka kamu bukan hanya karena kamu baik… tapi karena kamu ingetin aku terus buat tetap jaga sikap, jaga niat."
Setelah percakapan itu, malam mereka melanjutkan dengan cerita ringan—tentang guru yang lucu, teman sekelas yang heboh, sampai cita-cita mereka nanti.
NAURA
"Kalau kamu besar nanti pengen jadi apa?"
ATTAH
"Dulu sih pengen jadi pemain bola. Tapi sekarang… pengen jadi seseorang yang bisa jaga kamu terus." ( GOMBAL GAK TUH - by developer )
NAURA
"Ta… :') Kamu bisa bikin aku senyum terus tau gak?"
"Belajar Saling Menenangkan"
Hari-hari berikutnya chat mereka jadi rutinitas sampaii-sampaii 2 semester tidak terasa dan mulai mendekati ujian kenaikan kelas. Kadang Attah mengirim pesan di pagi hari sebelum berangkat sekolah.
ATTAH (05.15)
"Selamat subuh yaa… semoga harimu hari ini tenang dan ceria."
NAURA (05.18)
"Aamiin, kamu juga ya. Jangan kesiangan nanti telat sholat hehe."
Kadang-kadang di siang hari, saat istirahat sekolah.
NAURA
"Tah, tugas IPA-nya dikumpulin hari ini loh."
ATTAH
"Hah?! Seriusan? Aduh makasih Ra, kamu tuh penyelamatku."
Dan tak jarang, mereka saling menguatkan saat salah satunya sedang terpuruk.
Suatu malam, NAURA curhat lewat pesan suara karena sedang kesal dengan teman sekelasnya.
"Aku tuh gak ngerti kenapa mereka suka ngejek jilbab aku yang lebar, katanya kayak 'ibu-ibu banget'. Aku sedih. Aku pake ini bukan buat gaya…"
ATTAH langsung membalas, suaranya tenang tapi tegas.
"Naura… justru kamu cantik banget dengan jilbab itu. Kamu berani jadi diri sendiri, dan itu keren. Jangan biarin omongan mereka bikin kamu goyah ya. Aku bangga sama kamu."
Dan malam itu, NAURA menangis pelan. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ada yang benar-benar melihat dirinya—dan menjaganya, bukan mengubahnya.
"Kadang cinta gak harus selalu hadir di pelukan. Cukup hadir dalam pesan yang tulus, dalam suara yang menenangkan, dan dalam doa yang diam-diam dilangitkan."
"Saat Kamu Jadi Rumah"
Keesokan paginya Attah masih menyapa Naura walaupun virtual melewati pesan dan memberikan semangat untuk hari ini.
Sinar matahari menembus jendela kamar ATTAH. Udara masih dingin, tapi hati ATTAH terasa hangat. Setelah kejadian semalam saat NAURA curhat dan ia berhasil membuat gadis itu tersenyum lagi, ATTAH merasa… ini lebih dari sekadar cinta masa sekolah. Ini tentang bagaimana mereka saling menjadi rumah satu sama lain.
Di sekolah, ATTAH duduk di bangkunya sambil menunggu Naura datang. Setelah itu Attah melihat Naura datang dan duduk bersama teman sebangku nya karena saat posisi duduk di ganti. Tapi saat Attah melihat raut wajah naura ia menyadari bahwa Naura merasa kelelahan setelah menangis semalam. Ia pun menulis sebuah pesan pendek, tanpa mengirimkannya dulu:
"Kalau kamu lagi sedih, inget aja… kamu nggak sendirian. Ada aku, yang selalu mau dengerin dan peluk kamu—meski cuma lewat kata." sesobek kertas yang berisi surat dari Attah
NAURA duduk sendirian karena temannya tidak masuk. Saat itu Ia membuka catatan IPA-nya yang penuh stabilo warna-warni—kebiasaan sejak SMP di kelas 8D saat bersama Attah. Tiba-tiba, ia melihat tempelan kecil di bagian belakang buku itu, kertas catatan lama dari ATTAH: "Naura, kamu bikin aku ngerti kenapa belajar itu penting. Karena kamu."
Setelah melihat tempelan itu Naura tau bahwa Attah sangat peduli kepadanya walau tempelan itu sudah 1 tahun yang lalu. dan ujian kenaikan kelas mulai dekat dan….
Naura lupa bahwa saat naik kelas ke SMA ia akan ikut mama dan papa nya di kota dan akan berjauhan dengan Attah. Ia takut untuk mengatakan bahwa saat naik kelas ia akan ikut mama dan papa nya kepada Attah :((
( NAURA SOO SAADD :( - by developer )
"Rahasia yang Berat Disimpan"
Bel istirahat berbunyi. Suara murid-murid riuh mulai memenuhi lorong sekolah. NAURA menatap kosong buku catatannya yang terbuka, tapi pikirannya tak ada di situ. Ia menggenggam kertas catatan dari ATTAH yang dulu—yang tulus, sederhana, tapi kini justru membuat hatinya berat.
Ia tahu, waktu mereka di sekolah ini… takkan lama lagi.
Langkah kaki ATTAH terdengar mendekat. Ia membawa dua kotak kecil berisi kue dari kantin dan langsung duduk di bangku sebelah NAURA yang kosong hari itu.
"Aku kira kamu nggak bakal keluar kelas," ucap ATTAH sambil tersenyum. "Ternyata nunggu di sini."
NAURA mencoba tersenyum. "Temen sebangkuku nggak masuk. Jadi ya... sepi aja."
"Sepi? Gak ada aku juga?" ATTAH bercanda, mencoba mencairkan suasana.
NAURA mengangguk pelan. "Kamu... selalu rame. Tapi kali ini rasanya sepi banget."
ATTAH mengernyit, menatap mata NAURA yang biasanya ceria, kini tampak menyimpan sesuatu. Ia ingin bertanya, tapi menahan diri. Mungkin nanti, pikirnya. Mungkin ketika NAURA siap.
Sore harinya, mereka tetap bertukar pesan seperti biasa.
NAURA:
"Ta… makasih ya udah bawain kue tadi. Aku suka banget yang coklat."
ATTAH:
"Aku juga suka… waktu bisa duduk bareng kamu lagi, meskipun kamu diem terus hehe."
NAURA:
"Maaf ya, aku cuma… banyak yang dipikirin akhir-akhir ini."
ATTAH:
"Kapan-kapan kalau kamu siap, aku dengerin ya. Aku nggak kemana-mana."
NAURA:
":') Iya, Ta. Makasih udah sabar."
"Takut Mengucap, Tapi Harus Jujur"
Malam itu NAURA menangis diam-diam di balik bantal. Bukan karena marah atau kecewa. Tapi karena ia tahu, sebentar lagi ada jarak yang akan memisahkan mereka. Bukan hanya waktu, bukan hanya jarak… tapi rutinitas, lingkungan, dan dunia yang berbeda.
Ia ingin bilang pada ATTAH. Tapi bagaimana kalau ATTAH sedih? Bagaimana kalau ia kecewa?
Keesokan paginya, saat kelas BHS INDO selesai, NAURA menyelipkan secarik kertas kecil di dalam buku catatan milik ATTAH. Tulisan tangannya bergetar.
"Tah, nanti pas naik kelas... aku mungkin harus pindah ke kota, ikut Mama dan Papa. Aku belum siap ngomong langsung. Tapi aku gak mau ninggalin kamu tanpa pamit."
Saat ATTAH membuka kertas itu sepulang sekolah, ia terdiam. Dunia di sekitarnya seperti berhenti sebentar. Hatinya seperti diremas.
Tapi tak ada amarah. Hanya satu rasa: takut kehilangan.
Namun saat itu juga, ia mengetik balasan:
ATTAH:
"Kalau kamu harus pergi, aku gak akan menahan. Tapi aku janji… rasa ini gak akan ikut pergi. Aku tetap di sini. Selalu."
Dan malam itu, NAURA membalas dengan satu kalimat:
NAURA:
"Terima kasih sudah jadi rumah, Ta. Meskipun nanti aku pergi, rumah ini akan selalu aku rindukan."
Kadang, cinta sejati tak mengikat. Ia hanya menjaga. Meski pada akhirnya harus belajar melepaskan, ia akan tetap ada—di hati, dalam kenangan, dan dalam setiap doa yang tak pernah putus.
"Surat yang Belum Diberi"
Keesokan harinya, mentari pagi belum tinggi saat ATTAH duduk di meja belajarnya. Di depannya, selembar kertas putih sudah terisi tulisan tangan yang ia susun semalaman. Surat itu sederhana, tapi berisi semua yang tak sempat ia ucapkan.
"Ra… aku tahu mungkin kita nggak bisa bareng terus setiap hari. Tapi aku percaya, kalau hati kita kuat, jarak gak akan jadi apa-apa. Kalau suatu hari kamu ragu, buka surat ini lagi. Dan ingat, ada satu orang yang akan selalu percaya sama kamu, apapun yang terjadi. Kalau kamu lagi sedih, inget aja… kamu nggak sendirian. Ada aku, yang selalu mau dengerin dan peluk kamu—meski cuma lewat kata."
ATTAH melipat surat itu dengan hati-hati, memasukkannya ke dalam amplop kecil yang ia hias sendiri. Di sudutnya, ia menulis: "Untuk Naura, dari seseorang yang akan selalu menunggu."
Di sekolah, ia menyimpan surat itu di dalam saku seragam. Berkali-kali ia hampir memberikannya saat melihat NAURA di kelas atau di lorong sekolah. Tapi setiap kali itu juga, keberaniannya menghilang.
Ia menunggu waktu yang tepat.
Dan dalam diam, ia berjanji… besok, apapun yang terjadi, surat itu harus sampai ke tangan NAURA.
Hari-hari terus berjalan. Ujian pun selesai. Dan waktu pun tak bisa ditahan—hari kelulusan akhirnya tiba.
Semua siswa mengenakan seragam rapi, suasana sekolah dipenuhi tawa dan tangis. Beberapa guru memberikan pesan terakhir, dan teman-teman sibuk saling bertukar coretan dan tanda tangan di baju seragam putih mereka.
Tapi ATTAH… hanya menggenggam satu hal: amplop kecil yang masih ia simpan sejak hari itu.
Ia melihat NAURA berdiri bersama teman-temannya, tersenyum, meski di balik senyum itu, matanya sedikit sembab. Mungkin karena perpisahan ini lebih berat dari yang ia kira.
ATTAH pun mendekat, langkahnya pelan, tapi pasti. Saat NAURA menoleh dan tatapan mereka bertemu, ia tahu—ini waktu yang paling tepat.
Tanpa banyak kata, ATTAH menyerahkan amplop kecil itu ke tangan NAURA.
"Ini... buat kamu. Bacanya nanti aja, ya. Pas kamu udah sendiri."
NAURA menerima surat itu perlahan, memandang amplop itu sejenak, lalu menatap ATTAH.
"Terima kasih, Ta... untuk semuanya."
Mereka tidak saling berpelukan. Tidak saling berjanji apa-apa. Tapi di antara genggaman surat itu, mereka tahu—ada perasaan yang tidak akan pernah hilang, walau semua hal di dunia bisa berubah.
Kadang, perpisahan bukan akhir dari cerita. Tapi cara semesta menguji seberapa kuat cinta bisa bertahan, meski tak lagi berjalan beriringan.
( DEVELOPERNYA NANGIS BAHAGIA :) - by developer )
"Langit Masih Sama, Walau Sekolah Berbeda"
Hari-hari di SMA berjalan dengan ritmenya sendiri. Attah mulai terbiasa dengan kelas barunya, teman-teman baru, dan pelajaran yang makin menantang. Tapi satu hal yang tak pernah berubah—namanya Naura masih memenuhi layar ponselnya setiap pagi dan malam.
NAURA (06.12):
"Selamat pagi, Ta. Semangat sekolahnya ya! Jangan lupa sarapan."
ATTAH (06.14):
"Selamat pagi, Ra. Kamu juga ya. Aku sarapan roti, tapi kurang manis kayak senyuman kamu. Hehe." ( GOOMBALL MULUU AHH SI ATTAH - by developer )
Mereka masih saling bercerita. Tentang guru yang galak, tugas yang menumpuk, atau teman sebangku yang lucu. Kadang-kadang mereka saling kirim foto jadwal pelajaran, atau voice note sambil berjalan pulang sekolah.
Malam adalah waktu favorit mereka. Saat semua kesibukan selesai, dan dunia menjadi lebih sunyi, mereka bisa lebih leluasa mengobrol lewat pesan panjang atau telepon singkat.
ATTAH:
"Aku tuh kangen banget ngobrol langsung sama kamu. Kadang ngebayangin kamu duduk di sebelah aku pas belajar."
NAURA:
"Aku juga ngerasa gitu. Tapi aku seneng, kita masih bisa ngobrol kayak gini. Rasanya kayak deket, meski jauh."
"Malam-Malam yang Penuh Cerita"
Satu malam, Naura mengirim voice note. Suaranya terdengar sedikit capek, tapi tetap hangat.
"Tadi aku presentasi di kelas. Deg-degan banget, tapi semua lancar. Kamu pasti bangga deh liat aku berdiri di depan kelas, bawa pointer, dan jelasin sambil senyum."
Attah mendengarkannya sambil tersenyum di kamar.
ATTAH:
"Pasti dong aku bangga. Kamu hebat, Ra. Kapan-kapan ajarin aku presentasi ya, biar aku bisa seganteng kamu pas pegang pointer."
"Hahahaha ganteng sih udah, tapi kamu tuh jago banget bikin aku tenang, tahu gak?"
"Saling Ada, Meski dari Layar"
Kadang hari-hari berat pun datang. Naura pernah curhat soal nilai ulangan Matematika-nya yang jelek. Ia hampir menangis karena takut mengecewakan orangtuanya.
ATTAH:
"Naura… nilai itu bisa diperbaiki. Tapi kamu jangan nyerah. Aku percaya kamu bisa, dan aku bakal bantuin belajar kalau kamu mau."
Dan benar, malam itu mereka belajar bareng lewat video call. Attah menjelaskan soal sambil corat-coret di buku, menunjukkannya ke kamera. Naura tertawa melihat tulisan Attah yang berantakan tapi niat banget.
"Janji di Tengah Kesibukan"
Di suatu malam minggu, mereka sepakat untuk menonton film bareng meski jarak memisahkan. Mereka memutar film yang sama sambil video call, tertawa dan komentar bareng seolah sedang duduk berdampingan.
Setelah film selesai…
NAURA:
"Ta, aku seneng banget bisa nonton bareng kamu… walau cuma lewat layar."
ATTAH:
"Aku juga. Tapi satu hari nanti, aku janji, kita bakal duduk beneran di bioskop. Makan popcorn, dan kamu yang pilih film."
NAURA:
"Deal. Tapi kamu harus tetap jadi kamu yang sekarang ya—yang perhatian, lucu, dan... selalu ada."
"Karena Cinta Itu Tetap Hidup, Walau Berjarak"
Hari-hari berjalan. Minggu berganti bulan. Tapi pesan-pesan kecil itu selalu hadir. Dalam bentuk ucapan "selamat pagi", doa-doa sebelum ujian, atau bahkan emoji peluk saat salah satu sedang sedih.
Mereka tahu, ini bukan hubungan yang mudah. Tapi mereka percaya—cinta yang tumbuh dari ketulusan, tak akan pernah hilang hanya karena jarak.
Dan setiap malam sebelum tidur, Attah masih mengirim satu kalimat ke Naura.
ATTAH (22.11):
"Selamat tidur, Ra. Meskipun hari ini kamu gak di sini, tapi kamu selalu ada di hatiku. Mimpi indah."
"Langkah yang Diam-Diam Membuat Dekat"
Sejak minggu pertama sekolah di SMA masih terasa asing bagi ATTAH. Meski sudah mulai terbiasa dengan kelas dan guru baru, tetap saja, ada ruang kosong di hatinya yang biasanya diisi oleh tawa NAURA. Tapi hidup tak berhenti, dan seperti biasa—ANGGA, sahabat lamanya, selalu punya cara untuk mengisi waktu mereka.
"Eh, Tah. Besok sore ikut aku yuk. Aku pengen masuk ekstrakurikuler silat. Kata seniornya sih seru, bisa bikin badan kuat dan disiplinnya tinggi."
ATTAH mengernyit. "Silat? Hmm… kayaknya bukan aku banget deh, Ga." ( TAPI PENGEN :( - by developer)
ANGGA menepuk bahu ATTAH sambil tertawa. "Justru karena itu lo harus coba. Lagian, siapa tau kamu bisa bela aku kalau aku dikeroyok cinta."
ATTAH pun mengalah. "Yaudah deh, ikut. Tapi kalau banyak push-up, gue mundur pelan-pelan ya."
Sementara itu, di Kota Tempat NAURA Bersekolah…
Di sudut lain kota yang jauh dari tempat ATTAH tinggal, NAURA sedang mengenakan seragam latihan silat warna hitam lengkap dengan sabuk putihnya. Ia tampak fokus, gerakannya tegas, dan wajahnya serius.
Sejak pindah ke SMA kota, NAURA mencoba menyesuaikan diri. Ia mencari kegiatan yang bisa membuatnya tetap aktif dan termotivasi. Pilihannya jatuh pada ekstrakurikuler silat—bukan hanya karena ingin belajar bela diri, tapi karena ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa tetap kuat meski berjauhan dari orang yang ia cintai.
Keesokan Harinya, di Sekolah ATTAH
ATTAH dan ANGGA mengikuti sesi perkenalan silat di aula belakang sekolah. Suasana ramai oleh siswa baru yang ingin mencoba. Pelatih silat memperkenalkan berbagai jurus dasar, dan semua peserta diminta mencoba perlahan. Walaupun kaku, ATTAH mencoba mengikuti dengan serius.
Tiba-tiba HP-nya bergetar saat istirahat latihan. Sebuah pesan dari NAURA masuk.
NAURA (17.12):
"Ta, hari ini aku ikut latihan silat. Capek banget tapi seru juga! Aku nggak nyangka aku bisa ngelakuin jurus-jurusnya :))"
ATTAH membaca itu sambil melotot kecil. "Lho… silat? Naura ikut silat juga?"
Ia langsung membalas.
ATTAH:
"SERIUS? Aku juga lagi ikut perkenalan silat sekarang. Tapi aku masih lebih jago narik napas daripada narik kuda-kuda."
NAURA:
"Hahahaha! Wah ini sih bukan jodoh lagi, Tah. Tapi udah kayak naskah semesta."
Malamnya…
Mereka saling mengirim video gerakan silat masing-masing. NAURA menunjukkan dirinya sedang berlatih jurus dasar sambil tertawa karena salah langkah. ATTAH membalas dengan video dirinya jatuh terduduk saat mencoba gerakan tendangan samping.
NAURA:
"Kamu kaku banget ya Allah Ta hahaha, tapi lucu."
ATTAH:
"Jangan ngetawain, Ra. Aku lagi cari alasan biar bisa sparring sama kamu pas libur nanti."
NAURA:
"Wah, siap-siap aja kamu. Kalau kalah, kamu harus traktir aku cilok."
ATTAH:
"Deal. Tapi kalau aku menang, kamu harus... kasih aku satu pelukan, walau cuma lewat pesan."
"Silat yang Menyatukan Dua Hati dari Dua Tempat"
Minggu-minggu berlalu. Mereka mulai serius mengikuti latihan silat di tempat masing-masing. Lucunya, tanpa janjian, mereka sering belajar jurus yang sama di minggu yang sama. Kadang mereka saling menyemangati, kadang saling mengejek manja.
Dan dalam satu sesi latihan, saat pelatih menyuruh ATTAH memejamkan mata dan menenangkan pikiran, wajah NAURA-lah yang muncul dalam benaknya—tersenyum, dengan sabuk putih yang kini mungkin sudah berubah warna karena usahanya.
Sementara itu, di kota sana, NAURA juga berdiri tegak dengan tangan di depan dada, membayangkan ATTAH yang sedang berlatih di tempat berbeda, tapi dalam semangat yang sama.
"Pertarungan yang Menentukan Langkah"
Suara tapak kaki dan aba-aba pelatih menggema di aula latihan silat sekolah ATTAH. Sore itu, seperti biasa, peluh membasahi seragam latihan mereka. Tapi hari ini, suasananya terasa lebih serius dari biasanya. Sang pelatih berdiri di tengah, menatap para siswa dengan ekspresi penuh makna.
"Anak-anak," ucapnya sambil menyeka keringat di dahinya. "Sebentar lagi akan ada lomba silat antar kota. Dan kita dapat undangan untuk mengirim satu perwakilan dari sekolah ini."
Spontan, aula riuh. Beberapa siswa saling pandang, termasuk ATTAH, ANGGA, BIMA, dan AGA. Mereka berempat adalah peserta yang paling konsisten dan terlihat menonjol dalam beberapa minggu terakhir.
Pelatih melanjutkan, "Tapi… kita nggak asal pilih. Akan ada seleksi melalui sparing internal. Hanya satu dari kalian yang akan maju mewakili sekolah."
ATTAH menelan ludah. Ini bukan hanya soal silat. Ini tentang tantangan baru, pembuktian diri, dan—secara diam-diam—semangat yang entah kenapa makin menggebu karena tahu Naura juga ikut silat di kota lain.
"Sparing Penentu"
Keesokan harinya, aula silat dipenuhi antusiasme. Pelatih telah mengatur pertandingan:
Angga vs Aga
Attah vs Bima
Satu pemenang dari masing-masing duel akan berhadapan di final. Dan sang juara—akan dikirim ke lomba antar kota mewakili sekolah.
Saat namanya disebut, ATTAH berdiri dan menatap BIMA, lawannya. BIMA adalah siswa tinggi, tenang, dan gerakannya bersih. Tapi ATTAH punya keunggulan lain: semangat, kecepatan, dan keyakinan yang besar.
Pelatih memberi aba-aba.
"Siap! Hormat! Mulai!"
BIMA menyerang lebih dulu. Serangannya teratur, memukul dari sisi kiri. Tapi ATTAH mampu menghindar cepat dan membalas dengan tendangan samping yang hampir mengenai bahu. Penonton berteriak kecil.
Pertandingan berlangsung ketat. Tapi di menit terakhir, ATTAH berhasil menahan serangan BIMA dan memukul balik dengan gerakan cepat ke arah perut—masuk bersih.
"Point! Attah menang."
Di sisi lain, pertandingan ANGGA vs AGA berlangsung seru. AGA lebih tenang, tapi ANGGA punya tenaga besar dan agresif. Namun akhirnya, AGA berhasil menjatuhkan ANGGA dengan teknik kuncian rapi.
Pelatih mengumumkan, "Final akan mempertemukan Attah vs Aga."
"Pertarungan Terakhir"
Saat final dimulai, suasana jadi hening. Bahkan para siswa yang biasanya bercanda pun kini menatap serius. ATTAH mengatur napas. Ia melihat AGA berdiri tegak di depannya—lebih tinggi, lebih besar, tapi Attah tahu: ini bukan soal fisik semata.
"Siap! Hormat! Mulai!"
AGA langsung meluncur dengan serangan bertubi-tubi. ATTAH memilih bertahan, mengamati celah. Ketika AGA mengayun pukulan tinggi, ATTAH menunduk cepat dan menyapu kakinya dari samping—AGA terpeleset.
Tapi AGA cepat bangkit. Mereka bertarung sengit. Di detik akhir, saat AGA hendak menendang, ATTAH menahan kakinya dan melancarkan pukulan lurus ke dada—tepat, bersih.
Pelatih mengangkat tangan.
"Pemenangnya: ATTAH!"
Seluruh aula bersorak. Tapi Attah hanya tersenyum tenang, dalam hati ia bergumam:
"Ra… aku akan ikut lomba ini. Mungkin, di kota lain... kamu juga sedang menyiapkan hal yang sama. Kita gak tahu apa semesta sedang rancang. Tapi aku akan berjuang, sampai mungkin kita bertemu lagi. Di arena, atau di senja yang kita rindukan."
"Dua Hati, Satu Arena"
Sorak sorai belum juga reda saat nama ATTAH diumumkan sebagai pemenang sparing seleksi. ANGGA, BIMA, dan AGA langsung menghampiri, memberi pelukan cepat dan semangat khas anak laki-laki.
ANGGA:
"Woyyy Tah! Gila sih lo tadi... kayak pendekar beneran!"
BIMA:
"Lo pantas dapet tempat itu. Tapi habis ini gak ada leha-leha ya, bro."
AGA:
"Iya, kita semua bantu lo latihan. Jangan sampe lo cuma juara sparing doang, tapi ngedrop pas lomba beneran."
ATTAH tertawa kecil, wajahnya masih berkeringat, tapi senyumnya lebar.
ATTAH:
"Siap! Gue gak mau sekadar ikut. Gue mau menang. Biar... ya, bisa banggain semua orang yang gue sayang."
"Satu Minggu Menuju Arena"
Hari-hari berikutnya, ATTAH serius berlatih. Ia datang paling awal dan pulang paling akhir dari aula latihan. Ia ulang-ulang gerakan dasar, koreksi teknik tendangan, bahkan latihan fisik seperti push-up dan lari keliling lapangan.
ANGGA, BIMA, dan AGA ikut membantu. Mereka bergantian sparing, menjadi sparring partner terbaik buat ATTAH. Mereka tahu: perlombaan antar kota bukan hal main-main.
Dan yang paling membuat ATTAH semangat… adalah satu harapan kecil di hatinya: mungkin Naura akan melihat perjuangannya.
"Sementara Itu, Di Kota Lain…"
Pelatih silat di sekolah NAURA mengumpulkan anggota ekstrakurikuler.
Pelatih:
"Kita hanya punya waktu seminggu untuk persiapan. Dan aku sudah memilih siapa yang mewakili sekolah untuk lomba antar kota."
Semua murid menatap pelatih penuh harap.
Pelatih:
"Naura."
NAURA sedikit terkejut. Tapi tak lama kemudian ia mengangguk, tenang.
Pelatih:
"Kamu sudah punya dasar paling kuat, dan kamu latihan paling konsisten. Ini bukan beban, ini kesempatan. Tunjukkan bahwa kamu bisa jadi pendekar sejati, bukan hanya indah di jurus, tapi kuat di niat."
NAURA mengangguk. Dalam hatinya, ia membisikkan satu nama.
"Attah… andai kamu ada, aku pasti makin semangat."
"Pesan yang Menghubungkan Dua Dunia"
Malam sebelum lomba, setelah menyelesaikan sesi latihan mandiri di rumah, ATTAH duduk di pojok kamar. Keringat masih terasa, tapi hatinya gelisah.
Ia membuka chat.
ATTAH (20.47):
"Ra… aku mau cerita sesuatu. Minggu ini aku ikut lomba silat antar kota. Aku kepilih mewakili sekolah. Latihannya gila-gilaan, tapi aku senang."
Tak lama kemudian…
NAURA (20.53):
"HAH?! Kamu ikut lomba silat antar kota juga???! 😳"
ATTAH:
"Lho? Kenapa kaget banget? Emangnya kenapa?"
NAURA:
"Ta… aku juga. Aku juga ikut lomba itu dari sekolahku."
Pesan itu membuat ATTAH terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat.
ATTAH:
"Serius kamu?!"
NAURA:
"Iya... Pelatih langsung tunjuk aku karena nilai latihanku tertinggi. Dan aku juga latihan keras seminggu ini."
Keduanya terdiam beberapa detik—melalui layar ponsel, tapi terasa seperti hati mereka saling bergetar.
ATTAH (balas pelan):
"Kalau gitu… mungkin semesta punya rencana. Kita ketemu di arena, ya?"
NAURA:
"Dan entah kita lawan atau bukan, aku senang. Karena kita sama-sama berjuang untuk sesuatu. Aku bangga banget sama kamu, Ta."
"Langkah yang Membawa ke Satu Tempat"
Esoknya, dua kota berbeda bersiap. Dua hati yang pernah duduk sebangku kini akan bertemu di tempat tak terduga: arena silat antar kota, bukan sebagai kekasih biasa, tapi sebagai pejuang dengan semangat yang sama.
Dan dalam benak mereka berdua, satu hal pasti:
"Kalau kita bertemu di arena nanti… biar jurus yang bicara. Tapi setelah itu, hati tetap saling bicara."
"Bertemu Tanpa Rencana, Berjuang Tanpa Saling Lihat"
Hari perlombaan itu akhirnya tiba.
Lapangan besar yang dijadikan arena silat antar kota dipenuhi suara teriakan pelatih, semangat peserta, dan hiruk-pikuk panitia. Semua peserta dari berbagai kota berdatangan. Seragam hitam dengan lambang berbeda-beda bergerak ke sana ke mari. Tapi satu hal yang sama: mereka semua siap bertarung.
"Berbeda Jalur, Tapi Langit yang Sama"
ATTAH berdiri di antara peserta laki-laki. Ia mendapat nomor urutan ke-10 dari 20 peserta. Suasananya cukup tegang, tapi ia berusaha tetap fokus. Di tribun seberang, hanya ada peserta laki-laki. Tak ada NAURA.
"Mungkin dia lagi sama pelatihnya," pikir ATTAH sambil duduk di pinggir arena, mengamati pertandingan demi pertandingan.
Di sisi lain gedung, di aula berbeda, NAURA sedang melakukan pemanasan bersama pelatihnya dan rekan sesama peserta perempuan. Ia mendapat urutan ke-13 dari 15 peserta. Meski gugup, tapi gerakannya tetap tenang dan disiplin.
"Pertarungan yang Membakar Semangat"
Akhirnya, panggilan untuk peserta urutan ke-10 terdengar.
"Peserta 10! Attah dari SMA Bina Bangsa, bersiap!"
ATTAH berdiri, napasnya ditarik dalam-dalam. Ia tahu ini bukan hanya soal menang atau kalah. Tapi tentang membuktikan—pada dirinya sendiri, pada teman-temannya, dan… pada seseorang yang belum sempat ia lihat hari ini.
Peluit dibunyikan. Pertarungan dimulai.
Ronde 1 berjalan sangat sulit. Lawannya cepat dan kuat. Beberapa pukulan mengenai dada dan bahu ATTAH. Ia kehilangan poin cukup banyak.
Pelatihnya berteriak:
"Tenang, Ta! Jangan buru-buru! Ingat jurus kombinasi yang kamu latih!"
Tapi ATTAH tahu, ronde itu milik lawan. Ia kalah tipis.
Namun, Ronde 2 menjadi momen kebangkitan. ATTAH mulai menemukan ritmenya. Ia menggunakan kelincahan dan kecepatan yang menjadi keunggulannya. Serangan baliknya masuk bersih dua kali.
Ronde 3, semua energi ia kerahkan. Ia bergerak cepat, memanfaatkan celah ketika lawannya mulai lelah. Tendangan samping terakhirnya tepat ke sasaran—skor mutlak!
Juri mengangkat tangan:
"Pemenang: ATTAH. Lanjut ke babak selanjutnya!"
Sambil terengah-engah, ATTAH menatap langit-langit aula dan membatin:
"Ra… aku menang. Tapi bukan karena aku hebat. Karena aku selalu ngebayangin kamu di sana… dan itu bikin aku gak boleh nyerah."
"Masih Belum Bertemu"
Saat istirahat, ATTAH berjalan menuju kantin kecil di luar arena. Ia mencoba mencari-cari wajah yang ia kenal—tapi tetap belum melihat NAURA.
Sementara itu, NAURA baru selesai pemanasan ketika pelatihnya berpesan:
"Kamu urutan ke-13. Siap-siap dari sekarang. Dan ingat… jaga teknik, jangan terpancing emosi. Kamu di sini bukan cuma buat menang, tapi buat buktikan bahwa ketenangan juga kekuatan."
NAURA mengangguk. Dalam hatinya, ia berkata:
"Aku nggak tahu Attah sudah bertanding atau belum. Tapi semoga dia baik-baik aja. Semoga dia tahu, aku juga sedang berjuang."
"Final, Bukan Hanya Tentang Medali"
Langit mulai berubah warna ketika babak demi babak pertandingan selesai dijalani ATTAH. Ia lolos ke semifinal dengan perjuangan yang tidak mudah—setiap lawan makin berat, tiap ronde makin menguras tenaga. Tapi satu hal yang tetap ia pegang: semangat.
"Pertemuan yang Menyalakan Lagi Api Semangat"
Di sela jeda menuju babak final, ATTAH berjalan ke sisi luar aula, mencari udara segar. Tubuhnya mulai kelelahan, ototnya tegang, dan napasnya belum sepenuhnya stabil. Tapi kemudian…
"Ta!"
Suara itu. Lembut tapi langsung menyentuh dadanya.
ATTAH menoleh dan melihat NAURA, berdiri tidak jauh darinya dengan seragam silat yang sama-sama telah kusut oleh latihan dan keringat. Rambutnya sebagian basah, wajahnya lelah, tapi senyumnya… tetap sama.
"Ra?!" ATTAH mendekat cepat, kaget tapi bahagia.
"Akhirnya ketemu juga," ucap NAURA sambil menepuk bahunya pelan. "Aku dengar kamu masuk final."
"Iya… tapi aku capek banget."
"Ta… kamu udah sejauh ini. Kamu harus terusin. Bukan buat menang aja, tapi buat buktiin ke diri kamu sendiri. Aku bangga banget sama kamu."
ATTAH hanya bisa menatap dalam mata NAURA. Napasnya perlahan terasa lebih ringan.
Ia tersenyum kecil, lalu berkata, "Kamu sendiri gimana?"
"Lagi nunggu giliran final juga." jawab NAURA sambil tertawa kecil.
"HAH? Jadi kamu juga masuk final?!" tanya ATTAH dengan mata membelalak.
"Iya. Tapi aku baru sadar... yang bikin aku semangat banget dari awal tuh… kamu. Karena kita sama-sama berjuang."
Mereka berdiri saling menatap dalam diam. Lalu, dengan pelan, NAURA mengangkat tangan untuk tos ringan—seperti dulu saat pertama mereka saling menyatakan rasa.
PLAK!
"Semangat ya, pendekar."
"Final, dan Napas Terakhir yang Penuh Makna"
Saat ATTAH kembali masuk arena final, suasananya jauh lebih sunyi. Penonton fokus. Lawannya—seorang atlet dari SMA unggulan kota tetangga—terlihat besar dan berpengalaman.
Peluit dibunyikan.
Ronde 1, ATTAH terdesak. Gerakannya tak secepat sebelumnya. Tangan mulai gemetar. Tapi ia bertahan.
Ronde 2, ia mulai menemukan celah. Serangan cepat ke bagian kaki, satu tendangan bersih ke arah samping—skor menyamakan.
Ronde 3, napasnya nyaris habis. Tapi di detik-detik terakhir, ia menutup mata sejenak… dan membayangkan senyum NAURA. Kata-kata gadis itu terngiang:
"Aku bangga banget sama kamu."
Dengan sisa tenaga terakhir, ATTAH menyalurkan seluruh semangat ke satu gerakan: tendangan melingkar ke atas—masuk!
Peluit panjang dibunyikan. Penonton bersorak.
Juri mengangkat tangan… dan…
"Pemenangnya: ATTAH!"
"Di Waktu yang Sama, Di Tempat yang Berbeda"
Di aula perempuan, NAURA juga sedang bertanding. Ia tidak tahu bahwa di saat yang sama, ATTTAH sedang menangis pelan karena lega.
Pertandingannya berjalan ketat. Tapi dengan teknik bersih dan gerakan cepat, NAURA akhirnya juga memimpin skor dan memenangkan finalnya.
Saat pelatih mengangkat tangannya dan mengatakan, "Kamu juara!", NAURA hanya tersenyum… sambil membatin:
"Ta… semoga kamu juga menang. Karena hari ini, aku tahu... kita sedang berdiri di dua tempat berbeda, tapi berjuang dengan cinta yang sama."
"Pertemuan Setelah Segalanya Usai"
Senja mulai turun. Kedua aula mulai sepi. ATTAH duduk di tangga luar gedung dengan medali tergantung di lehernya. Tak lama, langkah pelan mendekat.
"Ta."
NAURA muncul dengan medali yang sama, tergantung di dadanya.
Mereka saling tatap—tak langsung bicara. Tapi senyuman mereka menyampaikan semua.
NAURA:
"Kita menang."
ATTAH:
"Kita berjuang."
Mereka pun duduk berdampingan, menatap langit sore. Tak perlu banyak kata. Karena mereka tahu:
Hari ini bukan tentang siapa yang menang. Tapi tentang dua hati yang tumbuh, bertahan, dan bertemu… di jalur yang tak pernah direncanakan, tapi selalu searah.
"Final, Bukan Hanya Tentang Medali"
Langit mulai berubah warna ketika babak demi babak pertandingan selesai dijalani ATTAH. Ia lolos ke semifinal dengan perjuangan yang tidak mudah—setiap lawan makin berat, tiap ronde makin menguras tenaga. Tapi satu hal yang tetap ia pegang: semangat.
"Pertemuan yang Menyalakan Lagi Api Semangat"
Di sela jeda menuju babak final, ATTAH berjalan ke sisi luar aula, mencari udara segar. Tubuhnya mulai kelelahan, ototnya tegang, dan napasnya belum sepenuhnya stabil. Tapi kemudian…
"Ta!"
Suara itu. Lembut tapi langsung menyentuh dadanya.
ATTAH menoleh dan melihat NAURA, berdiri tidak jauh darinya dengan seragam silat yang sama-sama telah kusut oleh latihan dan keringat. Rambutnya sebagian basah, wajahnya lelah, tapi senyumnya… tetap sama.
"Ra?!" ATTAH mendekat cepat, kaget tapi bahagia.
"Akhirnya ketemu juga," ucap NAURA sambil menepuk bahunya pelan. "Aku dengar kamu masuk final."
"Iya… tapi aku capek banget."
"Ta… kamu udah sejauh ini. Kamu harus terusin. Bukan buat menang aja, tapi buat buktiin ke diri kamu sendiri. Aku bangga banget sama kamu."
ATTAH hanya bisa menatap dalam mata NAURA. Napasnya perlahan terasa lebih ringan.
Ia tersenyum kecil, lalu berkata, "Kamu sendiri gimana?"
"Lagi nunggu giliran final juga." jawab NAURA sambil tertawa kecil.
"HAH? Jadi kamu juga masuk final?!" tanya ATTAH dengan mata membelalak.
"Iya. Tapi aku baru sadar... yang bikin aku semangat banget dari awal tuh… kamu. Karena kita sama-sama berjuang."
Mereka berdiri saling menatap dalam diam. Lalu, dengan pelan, NAURA mengangkat tangan untuk tos ringan—seperti dulu saat pertama mereka saling menyatakan rasa.
PLAK!
"Semangat ya, pendekar."
"Final, dan Napas Terakhir yang Penuh Makna"
Saat ATTAH kembali masuk arena final, suasananya jauh lebih sunyi. Penonton fokus. Lawannya—seorang atlet dari SMA unggulan kota tetangga—terlihat besar dan berpengalaman.
Peluit dibunyikan.
Ronde 1, ATTAH terdesak. Gerakannya tak secepat sebelumnya. Tangan mulai gemetar. Tapi ia bertahan.
Ronde 2, ia mulai menemukan celah. Serangan cepat ke bagian kaki, satu tendangan bersih ke arah samping—skor menyamakan.
Ronde 3, napasnya nyaris habis. Tapi di detik-detik terakhir, ia menutup mata sejenak… dan membayangkan senyum NAURA. Kata-kata gadis itu terngiang:
"Aku bangga banget sama kamu."
Dengan sisa tenaga terakhir, ATTAH menyalurkan seluruh semangat ke satu gerakan: tendangan melingkar ke atas—masuk!
Peluit panjang dibunyikan. Penonton bersorak.
Juri mengangkat tangan… dan…
"Pemenangnya: ATTAH!"
"Di Waktu yang Sama, Di Tempat yang Berbeda"
Di aula perempuan, NAURA juga sedang bertanding. Ia tidak tahu bahwa di saat yang sama, ATTTAH sedang menangis pelan karena lega.
Pertandingannya berjalan ketat. Tapi dengan teknik bersih dan gerakan cepat, NAURA akhirnya juga memimpin skor dan memenangkan finalnya.
Saat pelatih mengangkat tangannya dan mengatakan, "Kamu juara!", NAURA hanya tersenyum… sambil membatin:
"Ta… semoga kamu juga menang. Karena hari ini, aku tahu... kita sedang berdiri di dua tempat berbeda, tapi berjuang dengan cinta yang sama."
"Pertemuan Setelah Segalanya Usai"
Senja mulai turun. Kedua aula mulai sepi. ATTAH duduk di tangga luar gedung dengan medali tergantung di lehernya. Tak lama, langkah pelan mendekat.
"Ta."
NAURA muncul dengan medali yang sama, tergantung di dadanya.
Mereka saling tatap—tak langsung bicara. Tapi senyuman mereka menyampaikan semua.
NAURA:
"Kita menang."
ATTAH:
"Kita berjuang."
Mereka pun duduk berdampingan, menatap langit sore. Tak perlu banyak kata. Karena mereka tahu:
Hari ini bukan tentang siapa yang menang. Tapi tentang dua hati yang tumbuh, bertahan, dan bertemu… di jalur yang tak pernah direncanakan, tapi selalu searah.
"Percakapan Malam Setelah Perjuangan"
Langit sore sudah berubah menjadi gelap saat Attah dan Naura akhirnya sampai di rumah masing-masing. Setelah seharian bertanding, tubuh mereka lelah, tapi hati mereka hangat.
Begitu sampai di rumah, Attah langsung masuk kamar, meletakkan tas berisi seragam silat dan medali ke atas meja. Ia duduk sebentar, menatap medali perak itu, lalu tersenyum kecil.
"Hari yang luar biasa," pikirnya.
Setelah membersihkan diri dan makan malam bersama keluarganya, Attah merebahkan diri di kasur, lalu membuka ponselnya. Ia melihat notifikasi—satu pesan dari Naura.
[Pesan WhatsApp Naura & Attah]
NAURA (20.47):
"Ta… udah mandi?"
ATTAH (20.48):
"Udah dong. Badan kayak habis digulung lumpur, kalo gak mandi bisa pingsan 🤣"
NAURA:
"Sama banget. Kaki masih pegel, tapi hati aku lega banget. Kita bener-bener masuk final dan... menang 😭✨"
ATTAH:
"Gak nyangka ya, Ra. Kita dulu cuma anak pramuka yang suka nyari bayangan pohon pas baris. Sekarang… kita berdiri di arena, pakai seragam silat, dan bawa pulang medali."
NAURA:
"Dan kita gak saling liat pas tanding, tapi entah kenapa aku ngerasa... semangat kamu tuh nyampe ke aku."
ATTAH:
"Pas aku nyaris nyerah di ronde 3, yang kebayang cuma satu hal… kamu. Senyum kamu, kata-kata kamu. Itu yang bikin aku terusin."
NAURA:
"Ya ampun… Ta :') Aku juga ngerasa gitu. Kita tuh jauh di aula yang beda, tapi kayak lagi barengan. Kayak hati kita... latihan bareng diam-diam."
"Kisah yang Tertulis dalam Ingatan"
ATTAH:
"Tau gak, Ra. Saat medali dikalungin ke aku, aku gak langsung mikirin piala atau juara. Yang aku pikirin: aku pengen cerita ini ke kamu. Bukan karena aku bangga, tapi karena aku pengen kamu tau, aku gak akan berhenti berusaha—buat semua yang kita jalanin."
NAURA:
"Aku denger itu kayak... hening banget. Tapi di hati aku rame. Terharu. Seneng. Bersyukur. Kamu gak cuma jadi cowok yang baik, Ta. Tapi kamu itu tempat pulang buat semangat aku."
ATTAH:
"Dan kamu tempat aku ngerasa cukup."
Mereka sama-sama terdiam. Tapi dalam jeda itu, ada rasa yang tak perlu dijelaskan—rasa yang tumbuh dari perjuangan, dari saling semangati, dari cerita yang bukan dibuat-buat.
"Doa di Balik Layar"
NAURA (21.12):
"Malam ini capek banget, tapi aku gak mau tidur sebelum bilang satu hal."
ATTAH:
"Apa?"
NAURA:
"Aku bangga banget sama kamu. Gak peduli kamu menang atau kalah tadi… aku tetep bangga. Dan... terima kasih udah jadi bagian dari perjalanan hidup aku hari ini."
ATTAH (21.14):
"Aku juga bangga sama kamu, Ra. Kita sama-sama capek, sama-sama jatuh, tapi kita bangkit. Dan semoga... hari ini jadi kenangan yang akan kita ceritakan nanti—mungkin sambil duduk berdua, sudah bukan pakai seragam silat lagi, tapi seragam hidup bareng."
"Malam Itu, Mereka Tidur dengan Hati yang Penuh"
Obrolan itu ditutup dengan ucapan selamat malam.
NAURA:
"Selamat tidur, pendekar. Sampai ketemu di mimpi."
ATTAH:
"Selamat tidur juga, pemenang hatiku."
Dan malam itu, meski kasur mereka berbeda, meski kota mereka tak sama, hati mereka tertidur dalam satu rasa:
bahwa perjuangan tadi bukan hanya soal medali—tapi tentang saling tumbuh, saling jaga, dan saling percaya.
Bab 3 : Hubungan jarak jauh
Senin pagi datang dengan semangat baru. Di dua sekolah yang berbeda, ATTAH dan NAURA bersiap menghadapi minggu pertama setelah kemenangan lomba silat antar kota yang membanggakan.
Di sekolah ATTAH, lapangan upacara penuh dengan siswa yang berdiri rapi. Matahari bersinar cerah, namun hati ATTAH berdebar berbeda. Ia sudah diberi tahu bahwa namanya akan dipanggil ke depan oleh kepala sekolah. Begitu pula di sekolah NAURA, suasana serupa terjadi—semua siswa berdiri mendengarkan pengumuman, sementara NAURA berdiri di barisan depan dengan wajah tenang namun bangga.
"Kami undang ke depan, siswa berprestasi: ATTAH dari kelas XI IPA 1!"
Suasana langsung riuh. Beberapa siswa bersorak dan bertepuk tangan. Dari barisan tengah, terlihat sosok-sosok yang sudah tak asing lagi bagi ATTAH—sahabat-sahabatnya sejak SMP.
ANGGA:
"WOOY! ATTAAHH! SANG PENDEKARRR!"
BIMA:
"Eh, liat tuh! Wajahnya udah cocok masuk TV!"
AGA:
"Gila… ini sih calon menantu idaman ibu-ibu arisan! >:)"
ATTAH berjalan ke depan dengan senyum malu-malu. Wajahnya memerah karena sorak-sorai itu, tapi dalam hatinya, ia merasa bangga. Kepala sekolah memberinya piagam dan medali simbolis. Tepuk tangan kembali menggema.
Setelah upacara selesai, ATTAH kembali ke kelas dan disambut teman-temannya dengan tepukan bahu dan canda gurauan.
ANGGA:
"Gila, Tah. Kalo gue sih udah pensiun, capek abis pertandingan kemarin!"
ATTAH:
"Gue juga pegel semua, tapi rasanya puas, bro."
Pelajaran pun dimulai seperti biasa. Meskipun pikirannya masih melayang ke arena pertandingan, ATTAH tetap mencatat dengan rapi. Di sela istirahat, ia membuka ponselnya.
NAURA (08.57):
"Upacara di sini rame banget deh, aku dipanggil ke depan. Rasanya deg-degan, tapi seneng banget. Kamu gimana?"
ATTAH (08.58):
"Sama, Ra. aku juga dipanggil ke depan. temen-temen heboh banget deh , tapi di tempat yang beda. Tapi aku ngerasa... kamu di samping aku waktu aku maju ke depan. Aneh ya?"
NAURA:
"Nggak aneh. Aku juga ngerasain itu. Kayak ada bayangan kamu yang bisikin, 'semangat ya, pendekar'."
Jam pelajaran pun berlanjut hingga siang. Saat bel pulang berbunyi, siswa-siswa bubar. ATTAH bersiap ke aula silat, karena jadwal latihannya setiap hari Senin dan Kamis. Ia berganti baju, mengikat sabuknya, dan masuk ke aula latihan dengan semangat yang masih menyala.
Sementara itu, NAURA pulang ke rumah. Di sekolahnya, latihan silat dijadwalkan setiap hari Rabu dan Jumat. Ia naik angkot sambil mendengarkan lagu favoritnya, lalu membuka pesan dari ATTAH.
ATTAH (15.17):
"Aku latihan lagi sore ini. Rasanya badan udah pengen istirahat, tapi semangatku masih ada karena... kamu."
NAURA (15.18):
"Latihan yang semangat ya! Aku istirahat dulu hari ini. Hari Rabu nanti giliran aku latihan, kita tetap saling jaga semangat, ya."
Sore itu, langkah-langkah di aula silat berdentam kuat. Keringat mengucur, pelatih memberi koreksi. Tapi ATTAH tak gentar. Di pikirannya, setiap gerakan seperti berbicara dengan NAURA: bahwa dia berjuang bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semangat yang mereka bagi.
fDi Aula Silat Sore Itu
Pelatih silat sudah berdiri di tengah aula, menyapa para peserta dengan semangat.
PELATIH:
"Hari ini kita latihan ringan. Tapi saya mau apresiasi dulu..."
"ATTAH! Selamat atas prestasinya mewakili sekolah dan menang di ajang antar kota! Semua tepuk tangan dong!"
Seluruh teman-teman silat bertepuk tangan.
ANGGA:
"Woyy, pendekar cinta! Naik level nih!"
AGA:
"Nanti minta tanda tangan, bro. Siapa tau kamu jadi artis"
BIMA:
"Pake nama panggung aja, 'ATTAH sang Pejuang Cinta dan Medali'."
Semua tertawa. ATTAH hanya bisa senyum-senyum sambil mengikat sabuknya.
Latihan pun dimulai. Namun baru 15 menit, ATTAH terlihat melambat. Ia mengusap keringat, menahan pegal di bahunya.
PELATIH:
"Kenapa, Tah? Masih lelah ya?"
ATTAH:
"Iya, Pak... masih agak pegal. Tapi masih kuat kok."
ANGGA (bisik ke AGA):
"Ini sih bukan karena otot, tapi karena otak dan hati lagi mikirin yang di kota sana."
AGA terkekeh, lalu teriak pelan:
AGA:
"TAHH! Lo tuh lagi capek apa lagi GALAU?!"
AGA DAN ANGGA TERTAWA : AHAHHAHAHAH… >:)
ATTAH hanya tertawa kecil, tapi wajahnya jujur—sedikit sendu.
BIMA:
"Eh, lo tuh senyum-senyum sendiri pas stretching. Lo latihan apa bayangin Naura lari slow motion dari kejauhan?"
ANGGA:
"Kalo gitu kita bantu semangatnya. Nauraaaa… jaga hatinya yaaaa…!!!"
Seluruh ruangan tertawa. Bahkan pelatih ikut geleng-geleng sambil tersenyum.
ATTAH mengusap wajahnya, lalu menunduk sebentar. Dalam hatinya, ia mengakui:
"Ra… aku capek hari ini. Tapi capek yang paling berat tuh... nahan rindu. Kamu di sana, aku di sini. Tapi kalau kamu bisa denger... aku lagi semangat latihan, salah satunya karena kamu."
Latihan pun berlanjut. Dengan semangat teman-temannya yang tak pernah habis dan bayangan NAURA di kepalanya, ATTAH menyelesaikan sesi hari itu dengan napas yang berat tapi senyum yang ikhlas.
Saat hendak pulang, ANGGA menepuk bahu ATTAH.
ANGGA:
"Bro… lo hebat hari ini. Tapi kalo nanti di rumah lo mulai nyetel lagu galau, kabarin gue. Gue kirimin playlist yang isinya cuma suara gue ketawa biar lo gak sedih!"
Mereka tertawa bersama. Tapi dalam hati, ATTAH tahu:
Teman yang baik itu seperti penawar, dan cinta yang sehat itu seperti bahan bakar. Keduanya membuat langkahnya hari itu tetap berjalan, walau lelah dan rindu terasa berat di pundak.
NAURA duduk di balkon, menikmati teh hangat. Ia melihat langit yang perlahan berubah warna, lalu mengetik pelan:
NAURA (17.46):
"Langitnya cerah banget. Aku ngebayangin kamu lagi latihan di bawah langit yang sama. Kita memang jauh, tapi semangat kita saling nyambung, ya, Ta."
ATTAH (18.02):
"Aku juga ngerasain itu, Ra. Kayaknya kita udah sepakat… selama kita tetap komunikasi, hubungan ini gak akan pernah punya masalah yang gak bisa kita lewatin."
Dan senja hari itu pun menutup cerita mereka yang makin matang—tentang dua remaja yang tumbuh, terpisah jarak, namun tetap berjalan berdampingan dalam komunikasi, semangat, dan cintaHari Rabu, matahari masih terik saat NAURA duduk sendiri di bangku panjang koridor sekolah setelah bel pulang berbunyi. Suasana mulai sepi, siswa-siswi lain sudah ramai menuju gerbang. Tapi NAURA belum beranjak. Tangannya sibuk mengetik pesan untuk seseorang yang membuat hatinya hangat meski tubuh terasa lelah.
"DI HARI RABU DI NAURA"
NAURA (14.08):
"Ta, hari ini aku latihan lagi. Badanku masih agak pegal dari kemarin, tapi yaa... pendekar gak boleh manja kan?"
Beberapa detik kemudian, balasan datang.
ATTAH (14.10):
"Pendekar emang gak boleh manja, tapi kalo kamu ngeluh dikit, gak papa kok. Aku ngerti, kamu capek. Tapi aku percaya… kamu tetap bisa kasih yang terbaik. Semangat ya, Ra."
NAURA (14.11):
"Makasih, Ta. Doamu bikin napas aku lebih enteng."
Ia menyimpan ponselnya sambil tersenyum kecil. Namun senyum itu tak bertahan lama sendirian, karena tiba-tiba...
"Woyyy! Pendekar layar ponsel! Lagi ngapain tuh? Balas chat siapa tuh? 😏"
Suara itu milik INDAH, disusul tawa DINA dan PUTRI yang sudah berdiri di depannya.
PUTRI:
"Cieeee... pasti si Attah yaa? Fix! Liat mukanya yang langsung merah kayak tomat mateng!"
DINA:
"Jangan bilang-bilang, tapi katanya waktu lomba kemarin kalian sempet foto bareng ya? Hmmm…"
NAURA tertawa gugup, menutup wajahnya dengan tangan.
NAURA:
"Iyaaa, sempet foto. Tapi cuma sebentar kok. Gak usah dilebih-lebihin, woy!"
INDAH:
"Sebentar, tapi efeknya panjang. Buktinya dari tadi senyum-senyum sendiri. Nih orang kalo ada Attah pasti jurusnya makin tajam."
DINA:
"Kalo kata anak Twitter, ini sih bucin lowkey tapi kelihatan."
PUTRI:
"Udah ah, yuk ganti baju! Mbak sila udah nunggu tuh, pendekar cinta udah siap belum? >:)"
Mereka pun beriringan ke ruang ganti, tawa mereka menyatu dengan derap langkah sore.
Di Aula Latihan Silat SMA Nusa Bangsa
Aula silat yang menyatu dengan kompleks sekolah sudah ramai dengan para anggota. Suara sandal yang diseret, bunyi tawa kecil, dan arahan pelatih mengisi udara. NAURA dan ketiga sahabatnya sudah berganti seragam silat dan berdiri di barisan depan.
Mbak SILA, pelatih mereka, melangkah ke tengah aula dan memberi aba-aba.
MBak SILA:
"Sebelum mulai, saya mau beri apresiasi untuk salah satu murid kita—yang gak hanya menang, tapi juga nunjukkin semangat dan disiplin luar biasa di lomba kemarin. NAURA!"
Tepuk tangan membahana. NAURA hanya bisa menunduk malu sambil tersenyum tipis.
DINA (bisik):
"Kalo latihan hari ini semangatnya turun, tinggal puter ulang rekaman waktu kamu bareng Attah, langsung naik tuh energinya!"
PUTRI:
"Atau tinggal pikirin Attah ngomong, 'Semangat ya, pendekar', dijamin jurusmu langsung tajam!"
NAURA tertawa kecil, tapi saat latihan dimulai, tubuhnya tak bisa berbohong—langkahnya lambat, tendangannya kurang bertenaga.
MBak SILA:
"Naura, kamu kenapa? Capek banget ya?"
NAURA:
"Iya, Mbak. Badan masih pegel-pegel."
INDAH:
"Waduh, ini sih bukan cuma pegel otot. Tapi pegel hati karena kangen cowoknya jauh tuh!"
DINA:
"Kalo kamu pengen sembuh, Na, tinggal bayangin Attah bilang 'aku bangga sama kamu', dijamin jurus langsung sukses!"
PUTRI:
"Coba bayangin: kamu latihan di aula ini, tapi di pikirannya… arena silat berubah jadi taman bunga, dan Attah nunggu di ujungnya pake medali dan bunga."
NAURA sampai tertunduk karena tak kuasa menahan tawa.
NAURA:
"Aduh kalian tuh ya! Tapi beneran, makasih. Aku tadi udah capek banget. Tapi kalian bisa bikin aku ketawa, dan itu... bikin semangatku balik."
Akhir Latihan dan Hati yang Masih Terhubung
Sesi latihan selesai saat langit mulai jingga. NAURA duduk di sudut aula, mengusap peluh di dahinya. Tubuhnya masih pegal, tapi hatinya terasa lebih ringan. Ia mengambil ponsel, membuka pesan, lalu menulis:
NAURA (18.12):
"Ta… hari ini aku nyaris tumbang di latihan. Tapi temen-temenku berhasil bangkitin aku lagi. Tapi jujur ya... yang paling bikin aku kuat itu… bayangin kamu."
.
Pesan Setelah Latihan, Peluk yang Datang Lewat Kata
Langit sudah berganti menjadi abu kebiruan saat NAURA sampai di rumahnya. Keringat masih melekat di tubuhnya, rambutnya lengket, dan napasnya masih agak berat. Tapi ada satu hal yang membuat langkahnya ringan menuju kamar—sebuah pesan yang belum sempat ia balas:
ATTAH (18.25):
"Latihan kamu udah selesai belum? Jangan lupa minum air putih banyak ya, Ra. Aku nunggu kabar kamu :)"
NAURA meletakkan tasnya, lalu membuka pesan itu sambil tersenyum kecil. Dengan tangan yang masih bergetar lelah, ia membalas:
NAURA (18.27):
"Baru nyampe rumah, Ta. Sumpah pegelnya gak main-main hari ini. Tapi senyummu di chat barusan kayak vitamin—langsung seger dikit."
Sambil menunggu balasan, NAURA menuju kamar mandi, mengganti seragam silatnya dengan piyama longgar, dan membersihkan diri. Wajahnya yang semula kusam jadi lebih segar. Ia turun ke dapur, mengambil nasi hangat dan sup ayam buatan mamanya.
Beberapa menit kemudian, notifikasi ponsel kembali menyala.
ATTAH (18.39):
"Aku gak nyangka kamu masih bisa bercanda padahal kamu capek banget. Keren kamu, Ra. Kamu pendekar sejati. Tapi pendekar juga butuh istirahat, ya."
NAURA duduk di meja makan, satu tangan menyuap nasi, satu tangan lagi memegang ponsel. Balasannya diketik sambil mengunyah:
NAURA (18.41):
"Pendekar juga butuh perhatian. Dan itu udah cukup banget dari kamu hari ini 😌"
Selesai makan, ia rebahan di kasur sambil menatap langit-langit. Ponsel di tangan, ia membuka chat dan langsung memulai obrolan baru.
NAURA (19.03):
"Ta, kamu hari ini ngapain aja? Aku pengen denger cerita kamu juga, biar gak aku terus yang curhat hehe."
Tak lama kemudian, ATTAH membalas:
ATTAH (19.05):
"Hari ini aku latihan tambahan soalnya gak tau mau ngapain di rumah hehehehe. Tapi latihanku gak sekeras kamu, sih. Dan pas jam istirahat latihan tadi, aku liat langit. Tiba-tiba kebayang kamu... di tempat yang beda, tapi mungkin ngelakuin hal yang sama. Kayak... kita berdiri di tempat berbeda, tapi dalam irama yang sama."
NAURA membacanya perlahan, lalu mengetik pelan:
NAURA:
"Aku ngerasa juga gitu. Waktu aku lagi pemanasan, ada angin kencang masuk ke aula. Dan entah kenapa, aku kebayang kamu. Kayak... semesta kirim pesan rahasia lewat udara."
Beberapa detik kemudian...
ATTAH:
"Kalau gitu, semesta kita pintar ya. Bisa kasih peluk meski jarak jauh."
NAURA menahan senyum sambil memeluk bantal. Malam itu, mereka terus mengobrol, membahas hal-hal kecil: tentang teman-teman yang usil, tentang makanan kesukaan hari ini, tentang tugas yang belum selesai, sampai...
NAURA (21.23):
"Kamu capek gak, Ta?"
ATTAH (21.24):
"Capek sih. Tapi bisa ngobrol sama kamu, itu bikin lelahnya hilang."
NAURA:
"Sama. Terima kasih ya udah selalu ada. Meskipun kita gak saling liat setiap hari... aku ngerasa kamu selalu deket."
ATTAH:
"Karena aku memang gak mau jauh. Bukan cuma soal tempat, tapi juga dari hati kamu."
Di akhir obrolan, sebelum mata mereka terpejam...
NAURA (22.01):
"Selamat tidur, pendekarku yang lucu. Semoga mimpi indah, dan kalau mimpi aku, senyumin ya."
ATTAH (22.03):
"Aamiin. Mimpi yang ada kamu itu udah pasti paling indah. Selamat tidur juga, Na. Jaga diri kamu, ya."
Dan malam itu, mereka tidur di tempat yang berbeda, tapi tetap dalam pelukan rasa yang saling menjaga.
"DAN KEESOKAN HARINYA" ( Di hari kamis )
Pagi itu, matahari bersinar cerah. Angin meniup lembut jendela kamar ATTAH. Setelah bangun pagi dan sholat subuh, ia bersiap-siap ke sekolah seperti biasa. Hari ini agak berbeda—karena nanti sepulang sekolah, ia ada latihan silat tambahan. Persiapan menuju kejuaraan berikutnya mulai diperketat oleh pelatih.
Sambil mengenakan seragam dan mengisi botol minumnya, ATTAH mengirim pesan ke NAURA:
ATTAH:
Pagi, Ra. Semangat sekolah ya. Nanti aku latihan sepulang sekolah, doain semoga lancar :)
Tak lama kemudian, NAURA membalas:
NAURA:
Pagi juga, Ta! Semangat juga ya latihannya... Aku mau cerita, tapi nanti deh pas istirahat.
Pesan itu bikin ATTAH penasaran. Tapi ia percaya, nanti pasti ada kabar menarik dari NAURA.
Di Sekolah Naura...
Suasana pagi ini terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena ulangan atau kegiatan OSIS—tapi karena kehadiran murid baru.
Namanya FIAN—siswa pindahan dari sekolah swasta di luar kota. Ia tinggi, pendiam, dan punya aura kalem yang langsung menarik perhatian banyak siswi. Termasuk teman-teman dekat NAURA.
Saat FIAN masuk kelas, beberapa siswi langsung berbisik pelan. Guru memperkenalkannya singkat, lalu mempersilahkannya duduk di bangku kosong yang... ternyata tak jauh dari tempat duduk NAURA.
FIAN menoleh pelan dan tersenyum kecil ke arah NAURA. Naura membalas dengan sopan, meskipun dalam hati ia merasa tidak biasa.
"Fiuhh… rame banget hari ini," gumam NAURA pelan, sambil membuka catatan pelajarannya.
Saat pelajaran berlangsung, FIAN meminjam penghapus dari NAURA.
"Boleh pinjam penghapusnya?" tanya FIAN singkat.
NAURA menyerahkan tanpa banyak bicara. "Iya, silakan."
Dan meskipun interaksi itu singkat, teman-teman NAURA sudah mulai menggoda.
"Eh eh, Ra… tadi dia senyum ke kamu lohh~" bisik salah satu sahabatnya.
NAURA hanya tersenyum hambar. Karena pikirannya justru ke arah lain.
Saat Istirahat...
NAURA membuka ponselnya dan segera mengetik:
NAURA (10.17):
Ta, di kelasku ada murid baru. Namanya Fian. Baru aja masuk, tapi satu kelas langsung rame kayak ngeliat idola.
ATTAH (10.19):
Haha gila, baru dateng udah heboh gitu? Tapi kamu nggak ikut rame kan? 😏
NAURA:
Tentu nggak. Kan hatiku udah penuh… isinya kamu :)
Sore Hari: Di Sekolah Attah
Suasana aula latihan silat dipenuhi suara hentakan kaki dan aba-aba pelatih. ATTAH sedang sparing dengan peluh membasahi wajah. Latihan hari ini lebih berat dari biasanya, karena minggu depan ada uji coba untuk peserta yang akan dipilih lagi untuk tanding lintas kabupaten.
"Ta! Fokus! Kuda-kuda kamu kendor tuh!" teriak pelatih.
ATTAH mengangguk. Ia tarik napas dalam-dalam. Keringat menetes, lututnya pegal, tapi pikirannya terus memutar satu nama: Naura.
"Aku harus kuat. Aku mau bikin Naura bangga."
Saat latihan usai, ia duduk bersandar di tembok aula, mengambil napas panjang. Tangannya meraih HP, membuka pesan dari NAURA:
NAURA (15.47):
Ta, aku udah di rumah. Tadi rame banget anak-anak cewek pada heboh soal Fian. Tapi aku malah mikirin kamu yang lagi latihan sekarang. Kamu pasti capek ya…
ATTAH tersenyum lelah.
ATTAH (17.52):
Aku baru selesai latihan, Ra. Capeknya hilang sedikit pas baca chat kamu. Kamu tuh, alasan kenapa aku kuat.
NAURA (17.55):
Ta… kalau kamu semangat demi aku, maka aku juga harus semangat biar kamu gak sendirian di atas nanti.
Malam itu…
Mereka tetap berkabar, saling cerita. Tentang FIAN yang ternyata jago main basket, dan tentang ATTAH yang nyaris jatuh karena salah langkah saat latihan. Dan meskipun ada wajah baru di sekolah Naura, hatinya tetap memilih yang lama—yang selalu hadir, walau lewat pesan.
"NAMUN KEESOKAN HARINYA" ( Di Hari jumat )
"Jumat, Tugas, dan Tatapan yang Tak Diundang"
Hari Jumat dimulai dengan langit mendung, namun suasana sekolah tetap ramai. Di kelas NAURA, suara tawa dan cerita tentang murid baru, FIAN, masih saja jadi bahan utama obrolan.
"Ra, kamu ngobrol lagi sama Fian gak hari ini?" tanya Putri, sahabat sebangkunya, sambil menyikut pelan.
NAURA menggeleng pelan. "Enggak. Paling dia cuma nanya soal tugas doang kemarin."
"Yaa tapi cara dia senyum ke kamu tuh beda, Ra. Tatapan dia tuh… gimana ya… kayak 'tatapan drama Korea'," celetuk Dina, ikut-ikutan.
NAURA hanya tertawa kecil, walau sedikit risih. "Ish… kalian lebay. Dia cuma murid baru. Lagian, aku udah punya orang yang aku suka."
"Oooo pasti si pendekar virtual yaaa," goda Putri sambil meniru gaya silat.
Semua teman-temannya tertawa. NAURA ikut tersenyum, namun di balik tawanya, ia sadar… FIAN semakin sering mencari cara untuk bicara dengannya.
Sementara itu di sekolah ATTAH...
"Gue gak ngerti ya, ini guru-guru kenapa sih? Kok bisa sepakat ngasih PR semua dalam satu hari?" keluh Angga sambil menenggak es teh di kantin.
"Aku curiga mereka punya grup WA rahasia: 'Operasi Menumpuk PR'," celetuk Bima, teman satu tim latihan silat ATTAH, membuat mereka tertawa.
ATTAH ikut mengeluh. "Gue aja sampe pegel tangan nulis daftar PR-nya. Dan hari ini gak ada latihan, malah otak gue yang push-up."
"Eh, lo video call-an lagi sama Naura malam ini, Tah?" tanya Angga sambil mengangkat alis.
ATTAH mengangguk dengan senyum tipis. "Iya. Mau ngerjain PR bareng juga. Sekalian biar semangat."
"Waduhh romantis bener dah," sahut Bima sambil pura-pura mual. "Gue sama PR aja nggak bisa mesra gitu."
Siang Hari – Di Kelas NAURA
Selesai pelajaran, FIAN kembali menghampiri NAURA, kini dengan lebih percaya diri.
"Naura, kamu udah ngerjain PR Bahasa Inggris? Aku agak bingung sama yang nomor lima," katanya, sambil duduk di bangku kosong di depan meja NAURA.
Sebelum NAURA sempat jawab, Putri sudah berdiri di belakang FIAN sambil berdehem pelan. "Hmm, Fian, Naura lagi sibuk, ya. Nanti aja kalau mau nanya."
FIAN tersenyum sopan. "Oh… iya, maaf. Aku cuma nanya sebentar kok."
NAURA buru-buru merapikan bukunya. "Maaf ya, Fi… nanti aku kirimin jawabannya lewat grup kelas aja."
FIAN mengangguk. Tapi saat kembali ke tempat duduk, ia melirik ke arah NAURA. Bukan dengan tatapan marah—tapi penuh rasa penasaran.
Malam Hari – "Belajar dan Bicara Lewat Layar"
Jam 19.45, NAURA dan ATTAH sudah siap di meja belajar masing-masing. Headset terpasang, buku-buku terbuka, dan wajah mereka muncul di layar.
ATTAH:
"PR-nya banyak banget ya. Tapi kayaknya bakal terasa ringan kalau bareng kamu."
NAURA:
"Cieee gombalnya muncul lagi. Tapi iya sih, lebih enak ngerjain bareng."
Mereka mulai mengerjakan satu per satu. Di tengah sesi belajar, NAURA menghela napas.
NAURA:
"Ta… aku mau cerita. Hari ini Fian dateng lagi ke mejaku. Dia nanya PR. Tapi kayaknya dia mulai… ya… ada perasaan deh."
Wajah ATTAH terlihat sedikit menegang.
ATTAH:
"Dia nanya PR tiap hari? Rajin bener, ya…"
NAURA:
"Hahaha, ya gitu deh. Tapi tenang, aku jawabnya biasa aja. Aku juga udah cerita ke Alya kok. Mereka juga bantu jaga-jaga."
ATTAH:
"Makasih udah jujur, Ra. Tapi… kalo dia beneran suka, kamu yakin bisa hadapin?"
NAURA:
"Yakin. Karena aku bukan cuma suka kamu, Ta. Tapi aku juga percaya sama kita."
ATTAH diam sebentar, lalu tersenyum.
ATTAH:
"Ra… kalau dia nekat, bilang ke aku ya. Biar aku kasih tau aku cowokmu wkwkwk >:)."
NAURA tertawa keras. "Gak usah bawa pasukan. Bawa cilok aja udah cukup buat nenangin aku."
Malam itu berakhir dengan tawa, semangat, dan PR yang akhirnya selesai. Tapi di dua tempat yang berbeda, FIAN termenung, dan ANGGA serta BIMA terus menggoda ATTAH di grup:
ANGGA (chat grup):
Tahh, lo tuh gak video call, lo berduaan sambil belajar itu namanya >:)
BIMA:
Mudah-mudahan si Fian gak ngerusak hubungan anime dan kenyataan ini 😆
AGA ( Membalas bima ):
Semoga deh, soalnya anak basket tuh wkwkw
Setelah Video call dan pembicaraan itu besoknya adalah hari libur di mana Attah dan Naura hanya bermain game secara online maupun mengobrol sahaja dirumah masing-masing dan tanpa di sadari keduanya lupa bahwa besok adalah hari senin dan… ada sesuatu yang terjadi di hidup naura yaituu…..
"Hari Libur dan Lupa Hari"
Setelah malam sebelumnya mereka video call sambil mengerjakan PR, Sabtu datang dengan santai. Hari libur itu diisi NAURA dan ATTAH dengan kebersamaan sederhana: bermain game online favorit mereka, saling menggoda di obrolan suara, dan mengirimkan meme lucu lewat pesan.
NAURA (11.13):
Ta, kamu nyebelin banget! Tadi kamu jebak aku di game sampe aku kalah 😤
ATTAH:
Hahahaha itu namanya strategi. Tapi tenang, yang penting kamu gak kalah di hatiku 😎
NAURA:
Astagaaa… gombalnya gak pernah habis yaa kamu.
Hari itu mereka hanya di rumah masing-masing. Tidak ada latihan, tidak ada tugas. Hanya obrolan ringan, tawa, dan sesekali diam yang nyaman.
Namun karena terlalu santai... mereka lupa satu hal penting.
"Senin yang Terlupa dan Tak Terduga"
Pagi Senin datang tanpa ampun. NAURA terbangun kaget saat melihat jam sudah pukul 06.21.
"ASTAGA! INI HARI SENIN???" teriaknya panik sambil buru-buru ke kamar mandi.
Sementara itu di tempat lain...
ATTAH juga mengalami hal serupa.
"WAHH GILA! GUE KIRA MASIH MINGGU!!" Ia segera mengambil handuk sambil nabrak tembok kamar sendiri.
Mereka berdua akhirnya sama-sama telat masuk sekolah, tapi tetap saling kirim pesan saat istirahat.
ATTAH (10.03):
Ra... sumpah, tadi gue lari ke sekolah kayak dikejar takdir. Kita terlalu happy kemarin sampe lupa dunia.
NAURA (10.04):
Sumpah Ta... aku juga telat! Mamaku sampe panik nyuruh buru-buru. Aku nyangka ini Minggu!!
ATTAH:
Nah tuh, bukti kalau kita terlalu nyaman sama hari-hari bareng. Sampe lupa Senin eksis 😂
"Ajakan Tak Biasa dari FIAN"
Waktu pulang sekolah, suasana mulai lengang. Siswa sudah mulai kembali ke rumah masing-masing, kecuali beberapa yang masih di kantin dan ruang OSIS. NAURA berjalan keluar gerbang bersama Dina, Putri, dan Indah.
Tiba-tiba, FIAN muncul di sisi lorong, menghampiri.
"Naura, bentar dong... aku mau ngomong sesuatu. Bisa ke kantin belakang?" ucapnya sambil tersenyum, tapi suaranya terdengar memaksa.
NAURA yang awalnya ingin menolak secara halus langsung menjawab, "Maaf Fian, aku buru-buru mau pulang bareng temen-temen…"
Namun FIAN menyela cepat. "Cuma sebentar. Tolong, aku serius."
NAURA menoleh ke arah Dina, Putri, dan Indah, yang langsung memasang ekspresi curiga.
Putri:
"Kamu yakin mau ikut, Ra?"
NAURA:
"Hmm… yaudah deh. Tapi kalian ikut ya, aku gak enak kalau sendiri."
FIAN tampak agak kaget melihat ketiga temannya ikut, tapi dia tetap berjalan menuju kantin belakang yang sudah sepi.
"Pernyataan di Tempat yang Sunyi"
Mereka duduk di sudut bangku panjang kantin, hanya suara kipas angin yang berdengung dan langkah penjaga kantin dari kejauhan.
FIAN menarik napas panjang, lalu menatap NAURA dengan serius.
"Aku… gak bisa simpan ini terus. Sejak pertama kali lihat kamu, aku udah suka. Dan setiap hari lihat kamu di kelas, rasa itu makin besar."
NAURA membeku. Ketiga temannya saling pandang.
FIAN melanjutkan:
"Aku tahu ini cepat… tapi aku cuma pengen jujur. Aku suka kamu, Naura. Bolehkah aku punya kesempatan?"
NAURA terdiam. Hatinya gemetar, bukan karena tersentuh—tapi karena rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul. Dina memegang tangannya pelan di bawah meja, sebagai isyarat bahwa dia tidak sendiri.
"Jujur, Tapi Tetap Menjaga Hati"
Suasana di kantin sekolah itu terasa lebih dingin dari biasanya. Tatapan FIAN menunggu jawaban, sementara NAURA menunduk sebentar, lalu menghela napas panjang.
"Fian… aku terima kasih banget kamu udah jujur soal perasaanmu," ucap NAURA lembut, "aku ngerti itu gak mudah untuk disampaikan."
FIAN menatapnya, diam.
"Tapi… aku juga harus jujur. Hatiku udah punya seseorang," lanjut NAURA. "Aku udah dekat sama orang itu dari lama, dan... aku serius sama hubungan ini."
FIAN menunduk sebentar. Tak ada marah di wajahnya, hanya kekecewaan yang ditahan.
"Aku kira... mungkin aku punya harapan," gumamnya pelan.
NAURA tersenyum tipis. "Kamu anak baik, Fian. Dan mungkin suatu hari, kamu bakal nemu orang yang bisa nyambung dan membalas perasaanmu dengan cara yang sama."
FIAN menarik napas, lalu mengangguk pelan. "Makasih, Naura… kamu sopan. Dan jelas. Aku... aku ngerti sekarang."
Melihat itu, Dina, Putri, dan Indah yang sejak tadi hanya diam, merasa lega.
"Yuk, Ra. Kita pulang," ajak Dina sambil menepuk bahu Naura.
Sebelum mereka pergi, FIAN sempat tersenyum tipis ke arah mereka. "Hati-hati di jalan ya," katanya tulus.
"PEMBICARAAN PERJALANAN PULANG NAURA DAN TEMAN-TEMANNYA"
"Keyakinan di Langkah Pulang"
Langit mulai meredup, matahari menuruni langit sore saat Naura, Dina, Putri, dan Indah berjalan keluar dari halaman sekolah. Suasana agak canggung sejak mereka keluar dari kantin—setelah FIAN menyatakan perasaannya secara langsung kepada Naura.
Suara langkah kaki mereka menyatu dengan suara angin yang menyapu pepohonan. Tak ada yang bicara... hingga akhirnya Putri bersuara pelan.
"Jadi... itu beneran ya. Fian suka sama kamu."
Naura menunduk, memeluk bukunya di dada. "Iya... aku juga kaget, Put."
Dina menghela napas sambil menggeleng kecil. "Dari caranya ngomong, dari cara dia liat kamu waktu duduk tadi, jelas banget sih. Itu bukan sekadar suka biasa."
"Bukan cuma tatapan biasa juga," tambah Indah, kali ini serius. "Cara dia maksa ngajak kamu ke kantin itu… kayak orang yang udah nahan perasaan lama."
Naura berhenti sejenak, berdiri di sisi trotoar dekat gerbang, menatap jalanan depan.
"Aku cuma takut kalian jadi risih atau ikut kebawa suasana. Harusnya aku bisa tolak ajakan dia dari awal…"
Dina menepuk bahu Naura pelan. "Ra, justru kamu keren tadi. Kamu jawab pelan, jelas, tapi tetap jaga perasaan dia. Gak semua orang bisa sekuat itu."
Putri: "Dan... kita sih dari tadi udah curiga. Tapi setelah lihat langsung ekspresi dia waktu ngomong barusan... beneran, dia tuh bener-bener suka sama kamu."
Indah: "Tapi kamu juga udah tunjukin satu hal penting: kamu tahu siapa yang kamu jaga hatinya."
Naura tersenyum kecil, akhirnya bisa bernapas lega.
"Makasih ya kalian... Aku kira aku bakal gemetar sendiri tadi. Tapi ternyata... aku punya tiga tameng yang kuat banget."
Dina: "Tameng plus pasukan gosip yang siap kasih semangat 24 jam."
Putri: "Asal gak disuruh ikut duel silat aja, aku siap."
Indah: "Kalo sampe dia nekat lagi, biar kita yang hadapin. Naura tinggal duduk cantik sambil kirim voice note ke Attah."
Tawa mereka pecah pelan di sepanjang jalan. Sore itu, meski lelah, hati Naura terasa ringan. Bukan hanya karena ia berhasil menjaga hatinya, tapi karena ia tahu:
"Cinta memang harus dijaga, tapi pertemanan yang tulus... adalah penjaga terkuatnya."
"Pesan Setelah Diam, Obrolan Setelah Latihan"
Sore mulai menguning saat NAURA sampai di rumah. Ia mengganti seragam, lalu duduk di kasur sambil menatap layar ponselnya. Belum ada pesan baru dari ATTAH, tapi ia tahu... Senin berarti latihan silat.
Beberapa menit kemudian, ia membuka chat dan mulai mengetik:
NAURA (17.43):
Ta, aku gak mau kamu dengar dari orang lain. Hari ini sepulang sekolah, Fian ngajak aku ketemu di kantin. Katanya dia suka aku...
Ia jeda sebentar, lalu melanjutkan:
NAURA:
Tapi aku bilang baik-baik kalau hatiku udah punya kamu. Aku tolak dengan sopan. Aku harap kamu ngerti...
Satu jam kemudian, setelah latihan selesai, ATTAH membaca pesan itu sambil duduk di tangga aula.
Tangannya agak gemetar—bukan karena marah, tapi karena lega. Ia membalas cepat:
ATTAH (18.59):
Ra… makasih ya. Bukan cuma karena kamu nolak dia, tapi karena kamu mau jujur ke aku. Aku tahu kamu selalu bisa jaga hati. Dan itu yang bikin aku makin percaya.
NAURA (19.02):
Malam ini gak perlu bahas yang berat-berat ya. Kita ngobrol santai aja. Aku kangen suara kamu 😅
ATTAH:
Siap. Tapi malam ini, aku juga pengen bilang satu hal...
NAURA:
Apa tuh?
ATTAH:
Kamu hebat. Gak semua orang bisa jaga hubungan kayak kamu. Dan aku janji… aku bakal jaga kamu sebaik mungkin, walau dari jauh.
Malam pun datang. Dan seperti biasa, suara mereka bertemu lagi lewat video call. Bukan untuk mengeluh, bukan untuk membahas orang ketiga—tapi untuk tertawa, bercanda, dan merasa tenang, karena tahu mereka masih saling percaya.
Di luar sana, dunia terus berubah. Tapi bagi NAURA dan ATTAH, kepercayaan adalah pondasi yang tak goyah—bahkan saat ada yang mencoba masuk di antaranya.
"KEESOKAN NYA DI HARI SELASA"
"Kompak di Dua Kota, Kacau Bareng-bareng"
Hari Selasa pagi datang dengan cuaca yang cukup bersahabat. Tapi, yang lebih hangat dari sinar matahari adalah hubungan Naura dan Attah, yang tetap solid walau berjauhan. Mereka bukan cuma jago jaga hati, tapi juga kompak dalam segala kekacauan hari sekolah.
Pagi-Pagi Ngaco Bareng
06.11 – Chat Naura masuk ke HP Attah
NAURA:
Ta, bangun. Ini bukan hari Minggu, walaupun kasurnya masih nyeret-nyeret kita.
ATTAH (06.13):
Aku udah bangun dong. Baru aja bangun dari kasur… ke lantai. Karena jatuh. Kamu gak liat mukaku barusan nabrak ujung kasur 😵
NAURA:
HAHAHA! Kamu tuh ya, pendekar jatuh cinta atau jatuh kasur sih?
Sementara itu di rumah Attah… ( sebelumnya attah meminta untuk berangkat bareng bersama angga dan kebetulan pagi itu angga datang untuk menjemput attah )
Angga masuk kamar tanpa ketuk. "Weh, si pangeran video call! Masih chatting-an pagi gini? Lo naksir atau nyari beasiswa?"
Attah: "Ini latihan mental sebelum menghadapi kenyataan di sekolah."
Angga: "Yah, berarti lo gagal. Soalnya mukamu udah hancur duluan."
Di Kelas Naura – Warung Candaan Sahabat
Di sekolah Naura, suasana kelas tak kalah heboh. Dina, Putri, dan Indah baru saja duduk ketika Naura buka HP dan senyum-senyum sendiri.
Putri: "Fix. Dia chatting sama pangeran kesayangan tuh."
Dina: "Liat deh, tiap baca chat, senyumnya kayak habis dapet diskon 99% di toko skincare."
Indah: "Paling nanti malam mereka lomba PR lagi terus yang kalah harus nyanyi lagu anak-anak."
Naura: "Hey hey hey! Gak semua lomba kita childish ya. Kadang kita adu cepat jawab soal IPA juga kok."
Putri: "Tapi ending-nya tetap, kamu yang menang dan dia ngambek kayak anak TK."
Naura: "Itu namanya kesenjangan akademik dan emosional 😌"
Istirahat – Transfer Ilmu dan Lelucon
Attah duduk di kantin bareng Angga dan Bima, sambil pegang HP.
Bima: "Lo lagi ngetik apaan sih? Skripsi?"
Attah: "Ini Naura nitipin foto rumus kimia. Katanya biar aku gak buta total waktu ulangan besok."
Angga: "Lo tuh kayak dapet asupan ilmu dari cloud. Tapi bukan Google Drive, Naura Drive."
Attah: "Dan lo tahu? Tiap dia ngirim rumus, kayak ada lagu hero masuk di kepala gue. Langsung semangat belajar!"
Bima: "Gue juga semangat... tapi bukan buat belajar. Buat cari temen belajar kayak Naura."
Angga: "Mimpi terus, Bim. Itu hak paten milik Attah."
Sore Hari – Challenge Kocak Lewat Layar
Pulang sekolah, mereka saling kirim voice note:
Naura (VN):
"Ta, kita lomba kerjain PR Matematika yuk. Yang kalah nyanyiin lagu Doraemon. Harus! Tanpa malu!"
Attah (VN):
"Deal. Tapi kalo aku menang, kamu harus ngomong 'Attah tuh cowok paling keren sedunia' dan rekam juga."
Mereka pun adu cepat. Di kamar masing-masing, Attah jungkir balik, sementara Naura nyantai sambil makan es krim.
5 menit kemudian...
Attah (chat):
Ini soalnya siapa yang bikin?! Kenapa angka di soal bisa lebih banyak dari nasi goreng abang-abang?!
Naura:
Ah udah, aku kelar. Kirim suaramu nyanyi yaa. Tapi jangan fals sampe keluar jin.
Attah:
Siapa yang nyanyi? Ini suara penderitaan.
(dikirim: voice note Attah nyanyi "aku ingin begini, aku ingin begitu...")
Naura:
OMG kamu kayak Nobita ketindihan lemari!
Malam Hari – Obrolan Penutup Hari
Setelah semua tawa dan tugas, malam mereka ditutup dengan obrolan ringan.
Naura:
Ta, kita gila banget ya hari ini. Tapi aku seneng, karena walau jauh... aku gak pernah ngerasa sendiri.
Attah:
Karena kamu bukan cuma pacarku. Kamu tim belajarku, sahabat tawa, dan pemilik top skor kuis kahoot.
Naura:
Dan kamu? Pendekar jatuh kasur... tapi jago bikin aku senyum sepanjang hari.
Attah:
Di dunia yang capek dan padat tugas ini, kamu itu alasan kenapa aku gak pengen nyerah.
Walau jarak memisahkan sekolah, jalan, bahkan kota—tawa mereka tetap menyatu.
Karena cinta mereka bukan cuma tentang rindu, tapi tentang kompak, saling bantu, dan tetap kocak—meski hanya lewat layar.
"DI HARI RABU"
"Dari Naura ke Putri? Fian Kok Bisa Begitu?"
Hari Rabu dimulai dengan obrolan aneh yang menyebar cepat di lorong sekolah. Bahkan sebelum bel masuk berbunyi, Dina sudah datang dengan napas ngos-ngosan ke kelas sambil menyeret Naura dan Indah ke sudut kelas.
Dina (bisik setengah panik):
"Guys... lo semua udah denger gosip yang muter pagi ini?"
Naura: "Gosip apa lagi? Jangan bilang kantin jualan nugget mentah."
Indah: "Atau guru matematika kita pacaran sama guru olahraga?"
Dina: "ENGGAK! Ini tentang... Fian."
Naura langsung membeku.
"Hah? Fian kenapa lagi?"
Dina:
"Katanya, setelah lo tolak kemarin, sekarang dia mulai deketin... Putri."
Indah: "PUTRI?!"
Putri (dari jauh):
"SIAPA MANGGIL GUE?"
Putri datang sambil makan donat dan nyengir lebar.
Naura:
"Put... lo beneran? Dia deketin lo?"
Putri (santai):
"Ya... gitu deh. Tadi pagi dia ngajakin gue ke perpustakaan bareng. Katanya, 'kayaknya kamu seru diajak ngobrol.' Terus dia nyebut-nyebut donat favorit gue. Lah… dia stalk akun foodgram gue kayaknya."
Indah:
"Itu kode keras! Atau kode butuh hiburan?"
Dina:
"Ya ampun, ini cowok cepet banget geser hatinya. Baru seminggu nembak Naura, sekarang udah mau jadiin Putri target?"
Naura:
"Aku... agak gak enak sih. Tapi ya, aku juga gak punya hak buat larang, kan?"
Putri (sambil ngunyah):
"Tenang, Ra. Kalo dia deketin aku cuma buat pelarian, ya gue kirim dia ke tempat pembuangan akhir perasaan palsu. Tapi kalo dia beneran... ya, kita lihat nanti. Gue sih jalanin dulu dengan sikap: makan dulu, mikir belakangan."
Sementara itu... di sekolah Attah
Hari itu, waktu istirahat di sekolah Attah terasa biasa-biasa saja. Di kantin, Attah duduk bareng Angga dan Bima, sambil makan nasi goreng dan debat soal tugas sejarah yang bikin kepala cenat-cenut.
Tiba-tiba, HP Attah bergetar. Notifikasi dari Naura masuk.
NAURA (11.21):
Ta… aku mau cerita sesuatu tapi jangan marah ya.
ATTAH (11.22):
Oke… asal bukan berita kamu pindah ke luar negeri.
NAURA:
Enggak, konyol ah 😅 Tapi... kamu inget Fian kan? Yang dulu sempet nembak aku.
ATTAH:
Ya... kenapa?
NAURA:
Sekarang dia katanya mulai deketin Putri. Temen sekelas aku. Salah satu sahabatku.
Attah langsung berhenti ngunyah.
Angga (penasaran):
"Bro, kenapa lo tiba-tiba diem? Lo gak sadar mulut lo masih kebuka?"
Bima:
"Jangan bilang… Naura ketahuan tuker akun TikTok sama cowok lain?"
Attah narik napas. "Fian, cowok yang nembak Naura, sekarang mulai deketin sahabatnya. Baru kemarin ditolak, sekarang udah ganti jalur."
Angga:
"Gila… itu bukan cowok, itu pemain bulu tangkis. Pindah lapangan cepet banget."
Bima:
"Kayak nyari charger pas lowbat—asal dapet aja, gak peduli cocok atau enggak."
Attah:
"Gue gak akan ngejudge langsung. Tapi kalau dia nyakitin Putri, dia gak cuma mainin satu orang, tapi dua. Gue kenal Putri... dia mungkin rame dan suka becanda, tapi hatinya tulus."
Angga (serius):
"Lo mau ngelakuin sesuatu?"
Attah:
"Belum. Gue percaya Putri bisa jaga diri. Dan Naura pasti ada di sampingnya. Tapi kalau si Fian mulai aneh-aneh... ya, kita liat nanti."
Bima (senyum miring):
"Eh, kalo perlu kita kirim pasukan militer jarak jauh. Tumbukannya pake sinyal Wi-Fi."
Angga:
"Pukulan hati-hati dari kota sebelah. Slogannya: 'Kami datang bukan untuk cari ribut, tapi untuk jaga yang patut.'"
Mereka tertawa, tapi di balik tawa itu, Attah tahu ini bukan sekadar drama biasa. Ini soal kepercayaan, sahabat, dan menjaga orang yang dia sayangi—meski dari jauh.