Postingan

Be the sun and all will see you


Paparan  oleh Dr. Fahruddin Faiz

Terlalu banyak berpikir itu penyakit. Kadang-kadang dalam hidup ini, justru orang yang merasa sakit lebih besar, orang yang menderita itu, mereka yang pintar, yang banyak berpikir. Orang yang tidak terlalu banyak berpikir, ya dia tidak terlalu gelisah tentang hidup ini. Hidup ini dijalani saja, dinikmati saja sesuai dorongan-dorongan dirinya, tidak terlalu banyak pertimbangan. Ini lebih nyaman.

Ada beberapa quotes, beberapa potongan dari novel yang menurut saya menunjukkan betapa hidup kita ini absurd, tidak pasti. Misalnya dari Notes from Underground atau Catatan dari Bawah Tanah, ada kalimat seperti ini. Perhatikan baik-baik: "Kita bahkan tidak tahu apa yang saat ini dimaksud hidup itu. Apakah ia sebenarnya? Dan apa namanya? Jauhkan kita dari buku, maka kita segera akan tenggelam dan menjadi bingung."

Kita ini kan senantiasa diminta untuk memahami dan memaknai hidup, tapi menurut Dostoevsky dalam novelnya ini, sebenarnya kita itu tidak tahu, atau harusnya tidak yakin dengan berbagai makna hidup yang selama ini kita pegangi. Pengetahuan kita dan keyakinan kita selama ini kemungkinan didukung oleh buku-buku, idealisme yang ada dalam konsep-konsep yang ada di buku. Sebagian besar kita kalau ditanya apa makna hidup itu, ya jawabannya jawaban buku. Jadi jawaban yang kita peroleh dari ideal-ideal ilmu pengetahuan, padahal hidup itu tidak sesederhana itu. Makanya dalam quotes ini, "Jauhkan kita dari buku-buku, maka kita akan segera tenggelam dan menjadi bingung." Seandainya semua konsep dari buku-buku itu kita buang, terus kita membaca sendiri hidup ini, mungkin kita ya terus jadi bingung. Kenapa bingung? Karena hidup ini tidak seseragam yang kita bayangkan. Hidup ini tidak semonoton, tidak sepasti apa yang diuraikan oleh buku-buku. Jadi ini kalimat yang pertama menunjukkan ya memang hidup ini absurd, tidak terlalu jelas. Makna apapun yang kita pegangi, ya ada relevannya, ada juga sisi tidak cocoknya dengan hidup ini.

Nah, jadi yang pertama itu. Yang kedua, ini ada kalimat yang menunjukkan keabsurdan ini lebih jelas lagi. Ini saya ambil dari The Brothers Karamazov. Kata Dostoevsky, dunia berkata, "Engkau punya keinginan, penuhilah! Engkau memiliki hak yang sama seperti orang kaya dan orang-orang besar. Bahkan, jangan terburu-buru memenuhi keinginanmu, tapi perluaslah keinginanmu dan tuntutanmu." Inilah doktrin dunia hari ini, dan mereka percaya inilah kebebasan. Hasilnya adalah yang kaya terisolasi dan bunuh diri, sedang yang miskin cemburu dan akhirnya membunuh.

Jadi, ya hidup ini memang dasarnya keinginan. Kita selalu, kejarlah keinginanmu, kejarlah cita-citamu setinggi mungkin, ayo dikembangkan terus cita-cita kita, jangan mandek. Itu kan yang sering kita dengar, nasihat-nasihat, motivasi-motivasi. Kata Dostoevsky, "Ya, ya, ini doktrinnya dunia hari ini." Manusia dipaksa untuk maju, bergerak terus mengejar keinginannya. Bahkan, seandainya keinginan hari ini terpenuhi, ya matok lagi keinginan lebih jauh, keinginan lebih jauh. Hasilnya apa doktrin semacam ini? Yang kaya pada akhirnya terisolasi dan bunuh diri. Mengapa? Ya, dia tambah kaya, tambah kaya, tambah asing dari realitasnya. Dia kehilangan sisi kemanusiaannya. Mungkin dia jemu, dia jenuh dengan hidupnya. Jadi banyak orang mengejar-ngejar kesuksesan, keberhasilan. Begitu sukses dan berhasil, dia sendiri malah jemu dan jenuh dengan hidupnya. Makanya banyak kan cerita-cerita orang besar, artis, yang harusnya dia sangat bahagia, banyak orang lain mimpi ingin seperti dia, tapi dia sendiri malah bunuh diri. Kenapa? Dia merasa asing dari dirinya sendiri, dia terisolasi. Sejak muda mungkin dia dicekoki, "Ayo ngejar cita-cita, mengejar mimpi." Begitu teraih benar mimpi itu, dia justru merasa hampa. Maka kalimatnya Dostoevsky, "Yang kaya terisolasi dan bunuh diri," sementara yang miskin cemburu. Dia lihat orang-orang kaya, "Wah, aku kok enggak bisa mencapai keinginanku. Aku enggak pengin kaya enggak bisa, pengin sukses enggak bisa." Dia cemburu lihat yang lain sukses, yang lain kaya, akhirnya ya membunuh, merusak, mencari jalan paling singkat untuk menemukan kekayaan. Jadi inilah absurdnya hidup kita. Diminta untuk bercita-cita tinggi, tapi yang sukses meraih cita-cita justru jemu, bosan, bahkan bunuh diri. Yang enggak sukses meraih cita-cita cemburu, galau, gelisah, bahkan membunuh orang, merusak, dan lain sebagainya. Nah, ini gambaran dari The Brothers Karamazov ini menggambarkan betapa hidup ini absurd.

Nah, bahkan ada lagi, ini ada quotes ketiga menunjukkan absurdnya hidup. Saya ambil dari The Idiot: "Aku pikir kalau seseorang menghadapi satu kerusakan yang tidak terhindarkan, misalnya satu rumah ambruk menimpa dirinya, ia akan mencari tempat duduk, menunggu sambil memejamkan mata hingga tibalah apa yang akan tiba." Ini juga absurdnya manusia. Manusia itu ya secara natural dia menghindari rasa sulit, tidak suka dengan penderitaan, dan lain sebagainya. Tapi kadang-kadang kita, ketika sudah jelas akan menderita, sudah jelas akan sulit, kita malah diam saja. Ini paradoksnya manusia. Kita tahu loh yang kita lakukan ini nanti efeknya mungkin membuat kita menderita, tapi ya sudah, kita jalan saja. Karena kita punya pamrihnya. Apapun yang kita putuskan itu kan selalu ada positifnya, selalu ada negatifnya. Biasanya kita hanya siap dengan yang positifnya. Kalau yang negatifnya datang, ya mau tidak mau, siap tidak siap, kita harusnya menerima. Ini digambarkan oleh Dostoevsky, seandainya kita duduk di dalam rumah terus lihat rumahnya mau ambruk menimpa kita. Itu orang itu kadang malah diam, menutup mata, nunggu keambrukan beneran. Jadi kadang-kadang kan kita begitu ya. Ada momen di mana misalnya kita mau mengalami bencana, itu malah enggak lari, tapi mungkin memejamkan mata, mungkin teriak saja, mungkin diam saja, bengong, sampai musibah itu benar datang. Jadi akhirnya kita tertimpa beneran oleh musibah itu. Loh, ini lho paradoksnya manusia. Di momen ketika dia harus segera lari, dia malah diam. Di momen ketika dia diam, kadang-kadang dia malah kemerungsung lari. Ini absurdnya hidup.

Jadi, yaitu ilustrasinya ya, orang yang mau keambrukan rumah. Kita mungkin sering begitu ya. Misalnya mau apa gitu, mau kena apa, sudah jelas-jelas mau nyampai ke kita, kita biasanya terus malah diam, memejamkan mata sampai kena beneran. Nah, itulah absurdnya hidup ini. Kita tahu kalau kita jatuh cinta ada kemungkinan patah hati, tapi kan kita lebih suka melihat senangnya mencintai daripada pahitnya patah hati. Begitu patah hatinya datang, ya mau tidak mau kita terima, seperti orang yang agak melongo tadi, termangu ketika datangnya musibah itu. Bagian dari absuritas dalam hidup.

Baik, kita jelajahi lagi ya ke isu eksistensial yang lain. Ada isu ketakutan tadi kan ya, kegelisahan dalam The Brothers Karamazov ini. Kegelisahannya manusia itu banyak sebenarnya. Ada kematian, ada tidak tercapainya cita-cita, keterbatasannya sendiri, termasuk berhadapan dengan orang lain. Tapi dalam The Brothers Karamazov ini saya nemu kalimat yang menarik tentang ketakutannya manusia. Ini misalnya begini, kata Dostoevsky: "Hari ini hampir semua orang yang memiliki kapasitas sangat takut untuk terlihat konyol dan menderita karenanya." Nah, jadi ini menarik. Ini menunjukkan orang itu semakin tinggi, semakin sukses, itu ketakutan-ketakutannya semakin banyak. Bahkan ketakutan-ketakutan terhadap hal-hal yang tidak penting.

Misalnya ya, dulu waktu kita mungkin masih enggak punya apa-apa, mungkin masih, hitunglah masih miskin, uang juga enggak terlalu banyak. Urusan kostum, urusan baju, itu yang penting bersih, yang penting belum jelek, ya tetap kita pakai. Tetapi begitu uang banyak, mungkin kita cukup untuk beli baju yang kelas-kelas Rp100, 200, sampai Rp1 juta mampu misalnya. Nah, kita mulai sudah enggak sekedar baju bersih, tapi mungkin baju yang pantas, baju yang baru, baju yang bisa buat mejeng, bisa buat... itu sudah standarnya berbeda. Apalagi kita yang kaya raya sama sekali, sudah kadang baju itu kan sekali pakai, malu kita makai lagi untuk yang kedua kalinya. Kita takut dianggap orang, "Masa orang kaya bajunya enggak ganti?" dan lain sebagainya. Ketakutan-ketakutan terhadap hal-hal yang konyol. Kita terlihat konyol itu enggak mau, dan kita menderita kalau mengalami hal itu. Jadi semakin orang tinggi, besar, sukses, dengan segala capaian-capaiannya, biasanya muncul ketakutan-ketakutan lebih banyak. Ya sering kan di beberapa tokoh, misalnya dulu tokoh Stoik itu, dalam Stoikisme, orang itu semakin banyak hartanya biasanya semakin gelisah karena dia takut kehilangan. Orang yang enggak punya apa-apa ya tidak terlalu gelisah, wong ya takut apa, kehilangan apa? Nah, berarti ternyata ada korelasi antara kapasitas yang meningkat dengan ketakutan yang bertambah.

Orang itu kalau pointer, misalnya mahasiswa ya, pointer sama sekali, dia cerdas, nilai-nilainya selama ini unggul, itu dia dapat nilai jelek itu takut. Nah, ada ketakutan dapat nilai jelek. Tapi mahasiswa biasa-biasa yang IP-nya sudah yang penting selamat begitu saja, itu dia enggak ada ketakutan dengan nilai jelek, wong sudah biasa dapat nilai jelek. Jadi jumlah ketakutannya lebih sedikit. Kalau yang pintar kan, "Wah, kalau nanti saya enggak lulus tepat waktu, malu aku. Kalau IPK-ku enggak 3 di atas 5, malu aku." Kalau itu kan banyak ketakutan-ketakutannya. Sementara yang biasa-biasa, atau yang cenderung enggak pintar, sudah, "Allah yang penting lulus. Enggak masalah enggak harus tepat waktu, enggak harus IPK tinggi, sing penting lulus, alhamdulillah." Ketakutannya jauh lebih sedikit. Ya, ya, termasuk antara yang ganteng dengan yang biasa-biasa, yang cantik dengan yang biasa-biasa, itu pasti ketakutan-ketakutannya berbeda. Nah, dalam The Brothers Karamazov ini Dostoevsky mengilustrasikan bagaimana orang yang punya kapasitas itu takut terlihat konyol dan menderita. Padahal ya terlihat konyol bukan berarti konyol, hanya kelihatannya saja ya. Karena memang capaiannya mungkin tinggi, sehingga ketakutan-ketakutan lebih banyak. Nah, ini mungkin menarik ya untuk kita bahan instropeksi lebih lanjut.

Baik, saya lanjutkan biar agak banyak karena kelihatannya materinya masih banyak waktu kita agak terbatas. Nah, kita lihat sekarang pandangannya Dostoevsky, antara lain ya, tentang rasionalitas, intelektualitas. Yang pertama, ini kalimat saya ambil dari Crime and Punishment. Kata Dostoevsky: "Akal adalah budaknya perasaan." Nah, ini menarik ya. Ini pandangan tokoh eksistensialis, mirip dengan pandangan para sufi, misalnya Imam Ghazali. Akal itu hanya suruhannya hati, meskipun Imam Ghazali menyebutnya panglima perangnya, dia hanya pasukannya. Rajanya siapa? Yang menyuruh-nyuruh hati. Oleh, kalau pakai istilahnya Dostoevsky ini, akal itu budaknya perasaan. Perasaan kita menuju ke mana, orientasinya apa, ya akal akan mengikuti ke sana. Jadi akal bukan penentu. Kita itu senang dulu biasanya, terus akalnya datang untuk memberi pembenaran terhadap apa yang kita suka atau tidak suka. Dulu, jane aku enggak suka dulu dengan orang itu, nah terus baru akalnya datang untuk memberi justifikasi, memberi alasan-alasan, argumen. "Aku enggak suka itu apa? Bukan karena ada alasan-alasan ini, terus aku enggak suka." Enggak, terbalik prosesnya. Karena aku enggak suka, maka aku cari alasan-alasan yang membenarkan ketidaksukaanku. Jadi akal itu budaknya perasaan. Kalau pakai dalil ini, maka teman-teman ya enggak usah kaget kalau ada konflik-konflik dalam media sosial, antar komentar, antar postingan, itu sering tabrakan. Ya memang perasaan orang, selera orang beda-beda. Akalnya itu belakangan. Orang itu suka dulu, terus baru kemudian argumen, dasar, alasan, bukti, itu mendukung rasa suka dan tidak suka. Ini kalau kita sudah suka pada orang itu kan terus akal kita kerja mencari baiknya orang ini apa saja. Sebaliknya kalau kita tidak suka pada seseorang juga begitu, akal kita akan bekerja mencari jeleknya orang ini apa saja. Nah, kalau kita sedang patah hati misalnya, ya akal akan bekerja mencari apa yang kita butuhkan, apa yang kita inginkan dalam hati kita yang patah. Mungkin kita nyari pelampiasan, mungkin kita mencari pembenaran dari hati kita yang patah, mungkin kita, dan lain sebagainya. Nah, itulah makanya akal itu budaknya perasaan.

Yang kedua ini masih tentang intelektualitas, rasio. Kata Dostoevsky: "Rasa sakit dan penderitaan selalu tidak terhindarkan bagi pemikir yang besar dan perasa yang mendalam. Menurutku, orang-orang besar pastilah menanggung kesedihan terbesar di muka bumi ini." Nah, ini saya lanjutkan ya, pernyataan ini nyambung dengan quotes dari Notes from Underground. Ada kalimat begini: "Terlalu banyak berpikir itu penyakit. Kadang-kadang dalam hidup ini, justru orang yang merasa sakit lebih besar, orang yang menderita itu, mereka yang pintar yang banyak berpikir. Orang yang tidak terlalu banyak berpikir, ya dia tidak terlalu gelisah tentang hidup ini. Hidup ini dijalani saja, dinikmati saja sesuai dorongan-dorongan dirinya, tidak terlalu banyak pertimbangan. Ini lebih nyaman."

Kata Dostoevsky, dia membayangkan kalau ada orang, ada orang sangat perasa, itu hidupnya mesti isinya kesedihan-kesedihan, kebingungan-kebingungan, kegalauan-kegalauan. Karena memang itulah karakter dunia ini. Ada banyak hal-hal tidak rasional yang terjadi, seperti tadi ya, berhubungan dengan hukum alam, dan lain sebagainya. Maka kata Dostoevsky, "Terlalu banyak mikir itu penyakit." Ya, manusia memang butuh berpikir, tapi terlalu banyak berpikir, apa-apa mau diperdalam, apa-apa mau direnungi, kadang-kadang justru hasilnya adalah kesedihan-kesedihan, hasilnya adalah rasa sakit dan penderitaan. Maka jangan dikira orang yang sangat pintar itu enak dalam banyak hal. Kadang-kadang kita mending tidak tahu daripada tahu dalam banyak hal. Nanti teman-teman boleh direnungi ya. Ada banyak peristiwa, banyak kasus dalam hidup ini yang lebih baik kita enggak tahu. Begitu kita tahu, penderitaan kita bertambah, rasa sakit kita bertambah. Kadang-kadang tentang hal-hal yang enggak penting, misalnya ya, ada teman kita ngomong jelek di belakang kita. Itu kan kita enggak tahu. Saat kita enggak tahu, kita nyaman saja bergaul dengan dia, hidup kita cerah-cerah saja. Eh, tiba-tiba ada yang cerita ke kita, "Wah, teman yang satu itu kalau ngomong tentang kamu, juelek!" Ah, drop kan kita, sedih kan kita. Akhirnya kalau bersama dia sekarang isinya marah, kita ingin balas, enggak percaya, dan lain sebagainya. Pahit sekali hidup kita. Tambah pengetahuan, tambah penderitaan. Ini cara membaca konteksnya seperti itu. Karena kadang-kadang memang dalam hidup ini, beberapa hal lebih baik kita enggak tahu, karena begitu kita tahu ya penderitaan kita bertambah.

Nah, ada lagi yang menurut saya kalimat yang menarik dari Dostoevsky tentang kecerdasan, tentang intelektualitas. Kata dia: "Diperlukan lebih dari kecerdasan untuk bertindak secara cerdas." Pintar dalam pikiran saja tidak cukup, orang juga harus pintar dalam keputusan dan tindakan. Pintar dalam keputusan dan tindakan inilah nanti yang dalam filsafat sering kita sebut bijaksana. Jadi berpikir rasional saja, berpikir kritis saja, enggak cukup. Kita perlu berpikir yang bijaksana, berpikir yang sesuai dengan konteks, dengan situasi. Itu yang disebut bertindak secara cerdas. Tidak selalu kebenaran itu mungkin harus diungkapkan apa adanya. Ada kalanya kita agak muter sedikit, ada kalanya malah justru kita harus diam biar tidak mengacaukan yang lebih besar. Ada itu namanya bijaksana. Jadi, ya teman-teman yang pengalaman hidupnya banyak nanti ngerti kok bagaimana bersikap bijaksana itu. Jadi yang pertimbangannya tidak sekedar kebenaran yang rasional. Karena kalau kebenaran yang rasional saja, kadang-kadang kita keliru memutuskannya. Kalau hanya sekedar 1 + 1 = 2, kadang-kadang enggak pas, seperti ceritanya Confucius tadi. Kalau hanya sekedar melihat aspek benar, 1 + 1 = 2, 8 * 3 = 24, ya orang bisa kehilangan nyawa. Di sini pintarnya pembacaan situasi demi kebijaksanaan.

Baik, jadi itu aspek intelektualitas dan ini dilanjutkan dalam beberapa gagasan tentang kebalikannya kecerdasan atau intelek, yaitu kebodohan. Menarik nanti kalau teman-teman membaca The Brothers Karamazov. Dia bilang begini, kata Dostoevsky tentang kebodohan ini. Ini semua orang kan ingin menghindar dari kebodohan, tapi dia punya persepsi sendiri tentang kebodohan ini. Kata Dostoevsky: "Semakin bodoh seseorang, justru semakin dekat dia dengan kenyataan. Semakin bodoh seseorang, semakin dia jelas. Kebodohan itu ringkas dan tanpa trik atau seni apapun. Sementara kecerdasan itu berkelit dan menyembunyikan dirinya sendiri. Kecerdasan itu tanpa prinsip, sedangkan kebodohan itu jujur dan lugas." Nah, ini kalimatnya ini perlu dimaknai agak hati-hati. Ini nanti jangan-jangan setelah ini terus teman-teman, "Saya milih bodoh saja lah, Pak, kalau begitu." Ya, maksudnya Dostoevsky enggak ke situ. Yang dimaksud oleh Dostoevsky itu kurang lebih begini. Jadi orang yang pintar itu, karena ilmunya banyak, perspektifnya luas, itu kadang-kadang malah tidak jernih kalau membaca sesuatu. Jadi pikirannya disibukkan oleh teori-teori yang ada di kepalanya. Jadi dia sibuk membaca dengan teori-teori yang dia miliki, akhirnya sulit memahami kenyataan apa adanya. Ya, karena terdistraksi, terhalangi oleh kepandaiannya. Sementara orang bodoh, saya enggak tahu ya, kalimat bodoh ini semoga enggak sensitif ya, maksudnya orang yang wawasannya enggak terlalu luas, yang sederhana apa adanya memahami kenyataan itu, cenderung lebih jujur, lebih lugas, apa adanya. Dia akan membunyikan ya sejauh yang dia lihat tanpa didistraksi oleh banyak teori. Jadi ini konteks pemahaman untuk quotes ini, kalimat dari The Brothers Karamazov ini. Ya, intinya sebenarnya meminta kita untuk memahami kenyataan secara lebih jujur dan lugas, tidak harus dibulet-bulet, tidak harus dirumit-rumitkan. Wong ya fakta biasa-biasa. Kadang-kadang kan kalau ilmuwan itu jadi rumit, jadi mulet enggak karu-karuan. Ingin ngomong sesuatu yang bisa dinyatakan dalam dua tiga kalimat, itu kalau ilmuwan itu bisa jadi satu buku, bisa jadi satu artikel panjang. Nah, ini tambah rumit kata Dostoevsky, tambah enggak jelas.

Nah, terus ada lagi quotes yang menurut saya menarik tentang kebodohan ini. Kata Dostoevsky ini dalam novelnya The Idiot: "Aku orang bodoh yang berhati namun tanpa pikiran, dan engkau orang bodoh dengan banyak pikiran namun tanpa hati. Kita berdua tidak bahagia, kita berdua menderita." Jadi kalau ada orang cerdas hatinya tapi tidak pintar pikirannya, atau sebaliknya ada orang yang tidak pintar hatinya tapi cerdas hatinya. Jadi mata batinnya itu canggih menangkap realitas. Yang satu pikirannya canggih menangkap realitas, tapi tidak dua-duanya. Selama tidak dua-duanya, kita berdua menderita. Kalau ada orang yang pikirannya pintar tapi hatinya tidak, ya mungkin kebenaran-kebenaran yang sumbernya dari pikirannya tidak terbaca oleh hatinya. Hatinya tetap gelap, akhirnya dia gelisah. Karena tadi ya, kuncinya orang hidup itu perasaan dan hatinya. Kebenaran dari pikirannya yang tidak nyambung dengan rasa yang ada di hati bisa jadi sumber masalah. Sebaliknya juga begitu, ada orang yang hatinya canggih sekali, jernih sekali menangkap realitas, tapi pikirannya tidak. Pikirannya gelap. Wah, ini juga dia, kalau penelitian namanya enggak bisa mengolah data. Datanya sih pas, tapi enggak bisa dibaca, wong pikirannya gelap. Ya, dia enggak akan bahagia juga. Kayak orang, "Saya paham sih, tapi ngomongnya gimana ya? Saya ngerti, tapi mengekspresikannya gimana?" Nah, itu kan pikirannya enggak canggih meskipun hatinya canggih. Tapi ada orang yang sebaliknya. Nah, ini dua-duanya enggak bahagia. Kalau kita ingin jadi orang bahagia, ya pikiran dan hati kita sejalan, sama-sama hidup.

Baik, ini ada kalimat yang unik tentang kebodohan juga dari Dostoevsky. Dia menyatakan begini: "Orang pintar itu tidak bisa menjadi apapun secara serius. Hanya orang bodoh yang bisa menjadi sesuatu." Ini juga kita baca konteksnya ya, jangan digeneralisir untuk semua kasus. Maksudnya Dostoevsky itu begini, lho. Orang itu kalau pintar, itu kan wawasannya luas, dia ngerti macam-macam, akhirnya malah susah yakin, susah untuk mantap. Orang pintar itu, mau ini nanti jangan-jangan begini, mau itu nanti jangan-jangan begitu. Dia tahu berbagai alternatif yang berbeda dari kebenaran atau kebaikan yang mau dia ambil. Akhirnya jadinya enggak terlalu mantap. Tapi orang yang enggak pintar, atau katakanlah orang yang bodoh, seperti yang mungkin sering kita lihat, orang-orang yang tidak ngerti banyak hal, itu biasanya lebih mudah diyakinkan, lebih mudah mantap ketika memahami sesuatu. Jadi orang pintar sulit untuk jadi apapun secara serius, karena dia tahu kelemahan-kelemahannya, dia tahu kemungkinan-kemungkinan salahnya, dan lain sebagainya. Tapi orang yang belum matang ilmunya itu lebih mudah memutuskan, lebih mudah mantap. Makanya kadang-kadang, ini kadang-kadang ya, ada orang itu sampai umurnya banyak sekali, ilmunya matang, itu malah sulit untuk menemukan jodoh, menikah. Mungkin karena mikirnya panjang. Jadi ada calon ini, dia merasa, "Wah, kalau calon pasanganku begini nanti kalau dia begitu gimana? Orang kayak gini itu cirinya gini, gini, gini. Wah, ini nanti jadi masalah," dan lain sebagainya. Akhirnya dia lambat memutuskannya, dibandingkan mungkin anak-anak muda yang belum banyak ngerti apa-apa, yang penting jatuh cinta, terus pengin kawin. Pertimbangannya enggak terlalu panjang. Oh, itu lebih mantap menjalani pernikahan. Ini contoh saja ilustrasi kasar-kasaran ya. Jadi itu yang dimaksud dari quotes ini tentang kebodohan dan kepintaran. Jadi orang pintar itu ya bagus sih, luar biasa. Tapi kadang-kadang secara praktis, mereka ini enggak mantap. Jadi kalau dimintai pertimbangan apa-apa itu dia enggak terlalu mantap nasihatnya. Kenapa? Dia sendiri tahu berbagai alternatif, kelemahan-kelemahan dari nasihatnya itu. Jadi, "Mau saya suruh sabar, tapi nanti orang sabar itu kecenderungannya dia enggak maju, dia susah untuk bertanding, berlaga di dunia yang serba cepat, kompetitif ini. Mau saya suruh..." Jadi ada banyak pertimbangan-pertimbangan yang membuat tidak mantap itu cirinya orang pintar. Nah, jadi teman-teman, "Pak, saya kok sulit memutuskan ya, Pak? Saya kok sulit mengambil keputusan tentang sesuatu kok enggak mantap ya, Pak? Saya jadi apa-apa itu." Jangan-jangan teman-teman sudah pintar, pikirannya luas, jadi pertimbangannya macam-macam, jadi kurang mantap. Baik ya, ini perspektif yang berbeda tentang kepandaian dan kebodohan dalam hidup.

Yuk, baik. Sekarang yang mungkin agak unik ya, yang agak positif-positif. Mungkin masih ada waktu sebentar, saya jelaskan secara cepat saja di luar yang eksistensial-eksistensial tadi. Tadi saya jelaskan sebentar aspek ketuhanan. Jadi Dostoevsky ini seorang yang sangat religius sebenarnya. Kayaknya sejak kecil diperkenalkan agama oleh orang tuanya. Ada beberapa kalimat dari novel-novelnya yang menurut saya menarik tentang Tuhan, tentang keimanan. Kata Dostoevsky misalnya begini: "Apa yang aneh dan ajaib itu bukanlah bahwa Tuhan itu benar-benar ada atau tidak, tapi yang luar biasa adalah bahwa ide semacam itu, ide pasti ada secara niscaya, dapat muncul di kepala makhluk yang biadab, yang kejam, yang buas seperti manusia." Ini diambil dari The Brothers Karamazov. Jadi mungkin yang luar biasa bukan keyakinan kita bahwa Tuhan itu ada atau tidak, tapi pandangan bahwa Tuhan itu ada itu ternyata tidak hanya ada di orang-orang saleh, di orang-orang religius, manusia-manusia spiritual, tapi pandangan bahwa Tuhan itu ada juga bisa muncul di kepala orang-orang yang biadab, yang kejam, yang buas. Jadi manusia ini kan sepanjang sejarah hidupnya berdarah-darah. Kalau bahasanya para malaikat itu kan, may yufsidu fiha wa yasfiqudima. Lho, makhluk yang kejam yang senantiasa bunuh-membunuh, selalu konflik, itu ternyata tidak melepaskan ide tentang Tuhan di kepalanya. Kalau ditanya Tuhan itu ada apa enggak, itu kemungkinan besar sebagian besar manusia akan menjawab, "Ya, Tuhan itu pasti ada." Ini yang menurut Dostoevsky menarik lho. Makhluk itu yang kelakuannya sama sekali tidak menggambarkan sebagai sosok yang percaya Tuhan karena dia biadab, dia kejam, dia buas, tapi ternyata kelakuannya ya yang ada di kepalanya itu percaya bahwa Tuhan itu ada. Nah, ini kalimat ini bisa ditemukan di The Brothers Karamazov. Jadi keyakinan ada Tuhan itu bisa muncul di kepala manusia yang biadab, yang kejam, dan yang buas.

Nah, ada lagi yang menarik. Ada kalimat begini: "Dalam kenyataannya, keimanan tidak lahir karena keajaiban, namun keajaiban lahir karena keimanan." Ini mungkin mirip ya dengan kebodohan dan kecerdasan tadi. Kata Dostoevsky, orang itu bukan kok mengalami hal-hal luar biasa yang ajaib terus beriman, tapi biasanya dia ini sudah percaya dulu, beriman dulu, baru ketemu dengan hal-hal yang luar biasa. Jadi keajaiban itu muncul dan diakui sebagai keajaiban karena ada dasarnya keimanan. Kita kan selama ini terbalik, keajaiban itu jadi sumbernya orang beriman, karena melihat hal-hal luar biasa terus orang beriman. Tapi kata Dostoevsky, enggak begitu. Peristiwa yang riil itu biasanya kebalikannya. Karena orangnya sudah percaya dulu, baru dia bisa mengakses dan mengakui hal-hal yang luar biasa ini. Kalau orang sama sekali enggak kenal Tuhan atau enggak percaya Tuhan, mengalami hal luar biasa pun, tidak akan dia sambungkan dengan ketuhanan. Misalnya ya, kita mengalami bencana apa gitu ya. Orang yang sejak awal enggak percaya Tuhan, ya enggak akan mengaitkannya dengan Tuhan. Yang mengaitkannya dengan Tuhan itu yang memang sebelumnya sudah percaya dengan Tuhan. Kita misalnya mengalami musibah yang harusnya kita ini sakit parah karena musibah itu, eh ternyata kok bisa selamat. Nah, karena kita beriman kita, "Oh iya, ini peristiwa luar biasa ini karena pertolongannya Tuhan," lho. Jadi keajaiban itu terjadi karena kita beriman, bukan sebaliknya, karena mengalami keajaiban terus percaya Tuhan. Karena manusia itu ya kalau sudah enggak percaya, dia enggak akan mengaitkannya di situ. Tapi kan ada, Pak, orang yang mengalami luar biasa, sebelumnya dia enggak religius, tapi begitu mengalami peristiwa luar biasa kemudian dia mengalami konversi, terus hijrah. Ya, itu kemungkinan sebenarnya dia sudah percaya sebelumnya. Dia sudah punya keyakinan, meskipun keyakinan ini enggak hidup dalam dirinya. Ya, seperti quotes yang pertama tadi kan, yang muncul di kepala makhluk yang biadab, kejam, buas itu tetap bisa ada ide tentang Tuhan. Ya, karena sebelumnya sudah kenal Tuhan, meskipun enggak aktif mengabdi, enggak aktif melakukan kebaikan-kebaikan religius. Begitu ngalami sesuatu yang luar biasa, yang kemarin keimanannya tidak hidup, sekarang jadi hidup.

Nah, ini pandangan-pandangannya Dostoevsky. Sebenarnya masih banyak yang lain, tapi mengingat waktu ya. Baik, karena waktunya terbatas, kita akhiri dengan dua quotes untuk malam hari ini dari Dostoevsky. Saya suka dengan dua quotes ini. Yang pertama begini: "The best way to keep a prisoner from escaping is to make sure he never knows he is in prison." Jalan terbaik untuk membuat seorang narapidana tidak kabur adalah dengan memastikan dia tidak pernah tahu bahwa dia di dalam penjara. Nah, ini kita jadikan bahan instropeksi ya. Banyak orang itu yang terpenjara tapi enggak sadar. Banyak orang yang dikungkung tapi dia enggak sadar. Mungkin dikungkung oleh ideologi, dikungkung oleh lembaga, dikungkung oleh ideal-ideal yang dia miliki. Sehingga dia punya anugerah kebebasan tapi macet. Macet itu enggak pernah dia gunakan. Hidupnya tenggelam dalam ide-ide, organisasi-organisasi, kelompok-kelompok di mana dia berafiliasi. Dia enggak sadar bahwa semua itu memenjara dirinya. Dia enggak tahu bahwa itu penjara. Dan akhirnya apa? Ya, dia enggak akan punya niat untuk kabur. Karena niat untuk kabur itu kan dari orang yang sadar dia di penjara. Kalau dia enggak sadar di penjara, ya enggak akan dia berniat untuk kabur.

Yang terakhir ini ada kalimat: "Be the sun and all will see you." Jadilah matahari dan semua orang akan melihatmu. Fyodor Dostoevsky. Jadilah bercahaya, jadilah tinggi, jadilah yang menerangi, maka semua orang akan mengakui eksistensimu, akan tunduk di hadapanmu, akan mengakui kehadiranmu. Kehadiranmu adalah sesuatu yang penting dan berharga untuk mereka. Jadi Teman-teman, mari kita semua menjadi matahari dalam hidup kita dan lingkungan kita, sehingga tidak hanya kita yang eksis tinggi, tapi juga orang lain merasakan manfaat dari kehadiran kita. "Be the sun and all will see you," Fyodor Dostoevsky.

Terima kasih sudah menyimak. Semoga channel Mengaji Hening bersama Dr. Fahruddin Faiz selalu bisa memberikan ilmu, motivasi, dan kebermanfaatan. Salam sehat dan bahagia.

Posting Komentar

JSON Variables

You might like

$results={3} $style={1}